PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Pasal 1, ayat 1
|
Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat
dan obat tradisional.
|
||
Pasal 1, ayat 3
|
Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan
Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian.
|
||
Pasal 1, ayat 5
|
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
|
||
Pasal 1, ayat 6
|
Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang
membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker.
|
||
Pasal 2, ayat
1
|
Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan
Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan
pelayanan sediaan farmasi.
|
||
Pasal 7
|
Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan
Farmasi harus memiliki Apoteker penanggung jawab.
|
||
Pasal 9, ayat 1
|
Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang
Apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu,
produksi, dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi.
|
||
Pasal 9, ayat 2
|
Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika
harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Apoteker sebagai penanggung
jawab.
|
||
Pasal 11
|
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker
harus menetapkan Standar Prosedur Operasional yang dibuat
secara tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
Pasal 14, ayat 1
|
Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran
Sediaan Farmasi berupa obat harus memiliki seorang Apoteker sebagai
penanggung jawab
|
||
Pasal 19
|
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa : Apotek,
Instalasi farmasi rumah sakit, Puskesmas, Klinik, Toko
Obat atau Praktek bersama.
|
||
Pasal 20
|
Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker
pendamping dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
|
||
Pasal 21, ayat 2
|
Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep
dokter dilaksanakan oleh Apoteker.
|
||
Pasal 21, ayat 3
|
Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat
Apoteker, Menteri dapat menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah
memiliki STRTTK pada sarana pelayanan kesehatan dasar yang diberi wewenang
untuk meracik dan menyerahkan obat kepada pasien.
|
||
Pasal 24
|
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat: a. mengangkat seorang
Apoteker pendamping yang memiliki SIPA; b. mengganti obat merek dagang dengan
obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas
persetujuan dokter dan/atau pasien; dan c. menyerahkan obat keras, narkotika
dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
Pasal 25
|
Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal
sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.
|
||
Pasal 25, ayat 2
|
Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerja
sama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan
sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
|
||
Pasal 30, ayat 1
|
Setiap Tenaga Kefarmasian dalam menjalankan
Pekerjaan Kefarmasian wajib menyimpan Rahasia Kedokteran dan Rahasia
Kefarmasian
|
||
Pasal 30, ayat 2
|
Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian hanya
dapat dibuka untuk kepentingan pasien, memenuhi permintaan hakim dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri dan/atau berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
|
||
Pasal 33, ayat
1
|
Tenaga Kefarmasian terdiri atas Apoteker dan b Tenaga Teknis
Kefarmasian.
|
||
Pasal 33, ayat
2
|
Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud
terdiri dari Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga
Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
|
||
Pasal 36, ayat 1
|
Apoteker merupakan pendidikan profesi setelah
sarjana farmasi.
|
||
Pasal 37, ayat 1
|
Apoteker yang menjalankan Pekerjaan Kefarmasian
harus memiliki sertifikat kompetensi profesi.
|
||
Pasal 37, ayat 2
|
Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi,
dapat memperoleh sertifikat kompetensi profesi secara langsung setelah
melakukan registrasi.
|
||
Pasal 37, ayat 3
|
Sertifikat kompetensi profesi berlaku 5 (lima)
tahun dan dapat diperpanjang untuk setiap
5 (lima) tahun melalui uji kompetensi profesi apabila Apoteker tetap akan
menjalankan Pekerjaan Kefarmasian.
|
||
Pasal
38, ayat 3
|
Untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian
peserta didik yang telah memiliki ijazah wajib memperoleh rekomendasi dari
Apoteker yang memiliki STRA di tempat yang bersangkutan bekerja.
|
||
Pasal
38, ayat 4
|
Ijazah dan rekomendasi wajib
diserahkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memperoleh izin kerja.
|
||
Pasal
39, ayat 1
|
Setiap Tenaga Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi.
|
||
Pasal
39, ayat 2
|
Surat tanda registrasi diperuntukkan bagi Apoteker berupa STRA dan Tenaga Teknis
Kefarmasian berupa STRTTK.
|
||
Pasal
40, ayat 1
|
Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi
persyaratan: a. memiliki ijazah Apoteker; b. memiliki sertifikat kompetensi
profesi; c. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji
Apoteker; d. mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter
yang memiliki surat izin praktik; dan e. membuat pernyataan akan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan etika profesi.
|
||
Pasal
46
|
Kewajiban perpanjangan registrasi bagi Apoteker
lulusan luar negeri yang akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia
mengikuti ketentuan perpanjangan registrasi bagi Apoteker sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41.
|
||
Pasal
47, ayat 1
|
Untuk memperoleh STRTTK bagi Tenaga Teknis
Kefarmasian wajib memenuhi persyaratan: a. memiliki ijazah sesuai dengan
pendidikannya; b. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari
dokter yang memiliki surat izin praktek; c. memiliki rekomendasi tentang
kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA di tempat Tenaga Teknis
Kefarmasian bekerja; dan d.
membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
kefarmasian.
|
||
Pasal
51, ayat 1
|
Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau
instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker.
|
||
Pasal
51, ayat 1
|
Setiap Tenaga Kefarmasian yang melaksanakan
Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat izin sesuai tempat
Tenaga Kefarmasian bekerja.
|
||
Pasal
60, ayat 1
|
Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan
dan/atau Surat Izin Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan
Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan dengan
Peraturan Pemerintah ini. x
|
||
Pasal
60, ayat 2
|
Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan
dan/atau Surat Izin Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan
Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan dengan
Peraturan Pemerintah ini. 2. Asisten Apoteker dan Analis Farmasi yang telah
memiliki Surat Izin Asisten Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan
Pekerjaan Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan
dengan Peraturan Pemerintah ini.
|
||
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG KESEHATAN
Pasal 1, ayat 2
|
|
Pasal 1, ayat 4
|
Sediaan
farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika
|
Pasal 1, ayat 8
|
Obat adalah
bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia
|
Pasal 1, ayat 9
|
Obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik),
atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat
|
Pasal 48, ayat 1
|
Penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan
melalui beberapa kegiatan, salah satunya yaitu pengamanan dan penggunaan
sediaan farmasi dan alat kesehatan
|
Pasal 98, ayat 1
|
Sediaan
farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau
|
Pasal 98, ayat 2
|
Setiap orang
yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan,
mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat
|
Pasal 98, ayat 3
|
pengadaan,
penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat
kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah
|
Pasal 99, ayat 1
|
sediaan
farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat dan aman
digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta
pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya
|
Pasal 99, ayat 2
|
Masyarakat
diberi kesempatan untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan,
meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya
|
Pasal 99, ayat 3
|
Pemerintah
menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi
|
Pasal 100, ayat 1
|
Sumber obat
tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam
pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap
dijaga kelestariannya
|
Pasal 100, ayat 2
|
Pemerintah
menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional
|
Pasal 101, ayat 1
|
Masyarakat
diberi kesempatan untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan,
meningkatkan, dan menggunakan obat
tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya |
Pasal 101, ayat 2
|
Ketentuan
untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan
menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan
Pemerintah |
Pasal 102, ayat 1
|
Penggunaan
sediaan farmasi berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan
berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan
|
Pasal 102, ayat 2
|
Peraturan perundang-undangan
mengatur mengenai narkotika dan psikotropika
|
Pasal 103
|
Setiap orang
yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan
psikotropika wajib memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan
|
Pasal 104 ayat
1
|
sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang disalah gunakan harus diamankan untuk
melindungi masyarakat dari bahaya
|
Pasal 104 ayat
2
|
Penggunaan
obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional
|
Pasal 105
|
obat dan bahan
baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar
lainnya, sedangkan obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus
memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan
|
Pasal 106
|
Sediaan
farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar,
diberi penanda yang memenuhi syarat objektivitas dan kelengkapan dan tidak
menyesatkan. Pemerintah berwenang mencabut izin edar sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan
dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan memerintahkan penarikan
dari peredaran sediaan
|
Pasal 108
|
tenaga
kefarmasian adalah salah satu tenaga kesehatan yang bila tidak ada ditempat,
praktik kefarmasian dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya secara
terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan
perawat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. |
Pasal 196
|
Jika
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
tidak memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu akan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
|
197
|
Jika sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) |
198
|
Setiap orang
yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik
kefarmasian akan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2014
TENTANG
KESEHATAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
|
1. Tenaga
Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan.
2. Asisten
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan
bidang kesehatan di bawah jenjang Diploma Tiga.
7.
Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap Tenaga Kesehatan
untuk dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah lulus uji
Kompetensi.
8.
Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik
profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi
10.
Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh konsil
masing-masing Tenaga Kesehatan kepada Tenaga Kesehatan yang telah
diregistrasi.
11.
Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti
Tertulis yang diberikan oleh pemerintah
daerah
kabupaten/kota kepada Tenaga Kesehatan
sebagai
pemberian kewenangan untuk menjalankan
praktik.
|
BAB III
KUALIFIKASI DAN PENGELOMPOKAN TENAGA KESEHATAN
PASAL 11
|
(6)
Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian.
|
BAB X
PENYELENGGARAAN KEPROFESIAN
PASAL 65
|
(2)
Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, tenaga teknis kefarmasian dapat menerima
pelimpahan pekerjaan kefarmasian dari tenaga apoteker.
(3) Pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
dengan ketentuan:
a.
tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan keterampilan yang
telah dimiliki oleh penerima pelimpahan;
b.
pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan pemberi
pelimpahan;
c.
pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilimpahkan
sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan; dan
d.
tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk pengambilan keputusan sebagai dasar
pelaksanaan tindakan.
|
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2016
TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT
Pasal 1
|
Rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat.
|
Pasal 2
|
Tujuan
pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian;
dan
c.
melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
|
Pasal 3
|
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai; dan
b.
pelayanan farmasi klinik.
(2)
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. perencanaan;
b.
pengadaan;
c.
penerimaan;
d.
penyimpanan;
e.
pemusnahan;
f.
pengendalian; dan
g.
pencatatan dan pelaporan.
(3) Pelayanan farmasi klinik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengkajian dan pelayanan
Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan
Obat;
c. rekonsiliasi Obat;
d. Pelayanan Informasi Obat
(PIO);
e. konseling;
f. visite;
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
h. Monitoring Efek Samping Obat
(MESO);
i. Evaluasi Penggunaan Obat
(EPO);
j. dispensing sediaan steril; dan
k. Pemantauan Kadar Obat dalam
Darah (PKOD).
(4) Pelayanan farmasi klinik
berupa dispensing sediaan steril sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf j
hanya dapat dilakukan oleh Rumah Sakit yang mempunyai sarana untuk melakukan
produksi sediaan steril.
|
Pasal 4
|
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian,
pengorganisasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur
operasional.
(2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi: a. sumber daya manusia; dan b. sarana dan peralatan.
(3) Pengorganisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus menggambarkan uraian tugas, fungsi, dan tanggung jawab serta hubungan
koordinasi di dalam maupun di luar Pelayanan Kefarmasian yang ditetapkan oleh
pimpinan Rumah Sakit.
|
Pasal 5
|
(1)
Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, harus dilakukan
evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
|
Pasal 6
|
(1)
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus menjamin
ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.
(2) Penyelenggaraan Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit melalui sistem satu pintu. (3) Instalasi
Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Apoteker
sebagai penanggung jawab. (4) Dalam penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit dapat dibentuk satelit farmasi sesuai dengan kebutuhan yang
merupakan bagian dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
|
Pasal 8
|
Rumah Sakit wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian
secara berjenjang kepada dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan
provinsi, dan kementerian kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
|
Pasal 9
|
(1)
Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan
oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan organisasi
profesi.
|
Pasal 10
|
(1) Pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri, kepala
dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai
dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan organisasi
profesi.
|
Pasal 11
|
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan
provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 dan pengawasan yang dilakukan oleh Kepala BPOM sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
|
Pasal 12
|
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini
dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
|
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 2016
TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
Pasal 1
|
1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur
yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan
farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien.
4. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau
dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic
untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang
berlaku.
5.
Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
6. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk
produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
7. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin
dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah,
mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit,
memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan
memperbaiki fungsi tubuh.
8. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan
yang ditujukan untuk penggunaan sekali pakai (single use) yang daftar
produknya diatur dalam peraturan perundang-undangan.
9. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
10. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang
membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Analis Farmasi.
11. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada
Kementerian Kesehatan yang bertanggung jawab di bidang kefarmasian dan alat
kesehatan.
12. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang
selanjutnya disingkat Kepala BPOM adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non
Kementerian yang mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di
bidang pengawasan obat dan makanan.
13.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
|
Pasal 2
|
Tujuan
pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian;
dan
c.
melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
|
Pasal 3
|
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi
standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai; dan
b.
pelayanan farmasi klinik.
(2)
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. perencanaan;
b.
pengadaan;
c.
penerimaan;
d.
penyimpanan;
e.
pemusnahan;
f.
pengendalian; dan
g.
pencatatan dan pelaporan.
(3)
Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a.
pengkajian Resep;
b.
dispensing;
c.
Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d.
konseling;
e.
Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f.
Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g.
Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
Pasal 4
|
(1)
Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus didukung oleh
ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan
pasien.
(2)
Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.
|
Pasal 5
|
Untuk
menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Apotek, harus dilakukan evaluasi mutu
Pelayananan Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
|
Pasal 6
|
Penyelenggaraan
Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman, bermutu, bermanfaat,
dan terjangkau.
|
Pasal 8
|
Apotek
wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian secara berjenjang kepada
dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, dan kementerian
kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
Pasal 9
|
(1)
Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan
oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan organisasi
profesi.
|
Pasal 10
|
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri,
kepala dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan
sediaan farmasi dalam pengelolaan sediaan farmasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan juga oleh Kepala BPOM sesuai dengan tugas
dan fungsi masing-masing.
(2)
Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala BPOM dapat
melakukan pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap pengelolaan
sediaan farmasi di instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan
sediaan farmasi.
|
Pasal 11
|
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan
provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 dan pengawasan yang dilakukan oleh Kepala BPOM sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
|
Pasal 12
|
(1) Pelanggaran terhadap
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara
kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.
|
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 74 TAHUN 2016
TENTANG STANDAR PELAYANAN
KEFARMASIAN DI PUSKESMAS
Pasal 1
|
1. Pusat Kesehatan Masyarakat
yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas
kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di suatu wilayah kerja.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian
adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian
dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah
suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan
dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.
4. Sediaan Farmasi adalah obat,
bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
5. Obat adalah bahan atau paduan
bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki
sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi,
untuk manusia.
6. Bahan Medis Habis Pakai adalah
alat kesehatan yang ditujukan untuk penggunaan sekali pakai (single use) yang
daftar produknya diatur dalam peraturan perundang-undangan.
7. Apoteker adalah sarjana
farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan Apoteker.
8. Tenaga Teknis Kefarmasian
adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian,
yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Analis Farmasi.
9. Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan yang selanjutnya disebut Kepala BPOM adalah Kepala Lembaga Pemerintah
Non Kementerian yang mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di
bidang pengawasan obat dan makanan.
10. Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
|
Pasal 2
|
Tujuan
pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian;
dan
c.
melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
|
Pasal 3
|
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai; dan
b.
pelayanan farmasi klinik.
(2)
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. perencanaan;
b.
pengadaan;
c.
penerimaan;
d.
penyimpanan;
e.
pemusnahan;
f.
pengendalian; dan
g.
pencatatan dan pelaporan.
(3)
Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a.
pengkajian Resep;
b.
dispensing;
c.
Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d.
konseling;
e.
Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f.
Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g.
Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
Pasal 4
|
(1)
Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus didukung
oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada
keselamatan pasien.
(2)
Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.
|
Pasal 5
|
(1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas,
harus dilakukan pengendalian mutu Pelayananan Kefarmasian meliputi: a.
monitoring; dan b. evaluasi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian
mutu Pelayananan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
|
Pasal 6
|
(1) Penyelenggaraan Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas dilaksanakan pada unit pelayanan berupa ruang
farmasi.
(2) Ruang farmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai penanggung
jawab.
|
Pasal 8
|
(1) Pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri, kepala
dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai
dengan tugas dan fungsi masing-masing. (2) Pelaksanaan pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan organisasi
profesi.
|
Pasal 9
|
(1) Pengawasan selain dilaksanakan
oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1), khusus terkait
dengan pengawasan Sediaan Farmasi dalam pengelolaan Sediaan Farmasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan juga oleh
Kepala BPOM sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (2) Selain
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala BPOM dapat melakukan
pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap pengelolaan sediaan
farmasi di instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan obat.
|
Pasal 10
|
(1) Pengawasan yang dilakukan
oleh dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dan pengawasan yang dilakukan oleh Kepala BPOM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilaporkan secara berkala kepada
Menteri. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
|
Pasal 12
|
(1) Pada saat Peraturan Menteri
ini mulai berlaku, bagi Puskesmas yang belum memiliki Apoteker sebagai
penanggung jawab, penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian secara terbatas
dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian atau tenaga kesehatan lain yang
ditugaskan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota. (2) Pelayanan
Kefarmasian secara terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai; dan b. pelayanan
resep berupa peracikan Obat, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat.
(3) Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian secara terbatas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berada di bawah pembinaan dan pengawasan Apoteker yang
ditunjuk oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar