Rabu, 17 April 2019

UNDANG UNDANG KEFARMASIAN


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Pasal 1, ayat 1
Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Pasal 1, ayat 3
Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.

Pasal 1, ayat 5
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.

Pasal 1, ayat 6
Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.

Pasal 2, ayat 1
Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi.

Pasal 7
Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi harus memiliki Apoteker penanggung jawab.

Pasal 9, ayat 1
Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi.

Pasal 9, ayat 2
Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Apoteker sebagai penanggung jawab.

Pasal 11
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker harus menetapkan Standar Prosedur Operasional yang dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14, ayat 1
Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat harus memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab

Pasal 19
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa : Apotek, Instalasi farmasi rumah sakit, Puskesmas, Klinik, Toko Obat atau Praktek bersama.

Pasal 20
Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian.

Pasal 21, ayat 2
Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.

Pasal 21, ayat 3
Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat Apoteker, Menteri dapat menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK pada sarana pelayanan kesehatan dasar yang diberi wewenang untuk meracik dan menyerahkan obat kepada pasien.

Pasal 24
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat: a. mengangkat seorang Apoteker pendamping yang memiliki SIPA; b. mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien; dan c. menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 25
Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.
Pasal 25, ayat 2
Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerja sama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.

Pasal 30, ayat 1
Setiap Tenaga Kefarmasian dalam menjalankan Pekerjaan Kefarmasian wajib menyimpan Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian

Pasal 30, ayat 2
Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian hanya dapat dibuka untuk kepentingan pasien, memenuhi permintaan hakim dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri dan/atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 33, ayat 1
Tenaga Kefarmasian terdiri atas Apoteker dan b Tenaga Teknis Kefarmasian.

Pasal 33, ayat 2
Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud terdiri dari Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.

Pasal 36, ayat 1
Apoteker merupakan pendidikan profesi setelah sarjana farmasi.

Pasal 37, ayat 1
Apoteker yang menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki sertifikat kompetensi profesi.

Pasal 37, ayat 2
Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi, dapat memperoleh sertifikat kompetensi profesi secara langsung setelah melakukan registrasi.

Pasal 37, ayat 3
Sertifikat kompetensi profesi berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk setiap 5 (lima) tahun melalui uji kompetensi profesi apabila Apoteker tetap akan menjalankan Pekerjaan Kefarmasian.

Pasal 38, ayat 3
Untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian peserta didik yang telah memiliki ijazah wajib memperoleh rekomendasi dari Apoteker yang memiliki STRA di tempat yang bersangkutan bekerja.

Pasal 38, ayat 4
Ijazah dan rekomendasi  wajib diserahkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memperoleh izin kerja.

Pasal 39, ayat 1
Setiap Tenaga Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi.

Pasal 39, ayat 2
Surat tanda registrasi diperuntukkan bagi Apoteker berupa STRA dan  Tenaga Teknis Kefarmasian berupa STRTTK.

Pasal 40, ayat 1
Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan: a. memiliki ijazah Apoteker; b. memiliki sertifikat kompetensi profesi; c. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker; d. mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik; dan e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Pasal 46
Kewajiban perpanjangan registrasi bagi Apoteker lulusan luar negeri yang akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia mengikuti ketentuan perpanjangan registrasi bagi Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.

Pasal 47, ayat 1
Untuk memperoleh STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian wajib memenuhi persyaratan: a. memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya; b. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktek; c. memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA di tempat Tenaga Teknis Kefarmasian bekerja; dan d. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian.

Pasal 51, ayat 1
Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker.

Pasal 51, ayat 1
Setiap Tenaga Kefarmasian yang melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat izin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian bekerja.

Pasal 60, ayat 1
Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan dan/atau Surat Izin Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini. x

Pasal 60, ayat 2
Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan dan/atau Surat Izin Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini. 2. Asisten Apoteker dan Analis Farmasi yang telah memiliki Surat Izin Asisten Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.



PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG KESEHATAN
Pasal 1, ayat 2
Sumber bidan kesehatan, salah satunya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat
Pasal 1, ayat 4
Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika
Pasal 1, ayat 8
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia
Pasal 1, ayat 9
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat
Pasal 48, ayat 1
Penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan melalui beberapa kegiatan, salah satunya yaitu pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
Pasal 98, ayat 1
Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau
Pasal 98, ayat 2
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat
Pasal 98, ayat 3
pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 99, ayat 1
sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya
Pasal 99, ayat 2
Masyarakat diberi kesempatan untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya
Pasal 99, ayat 3
Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi
Pasal 100, ayat 1
Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya
Pasal 100, ayat 2
Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional
Pasal 101, ayat 1
Masyarakat diberi kesempatan untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat
tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya
Pasal 101, ayat 2
Ketentuan untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan
Pemerintah
Pasal 102, ayat 1
Penggunaan sediaan farmasi berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan
Pasal 102, ayat 2
Peraturan perundang-undangan mengatur mengenai narkotika dan psikotropika

Pasal 103
Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
Pasal 104 ayat 1
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang disalah gunakan harus diamankan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
Pasal 104 ayat 2
Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional
Pasal 105
obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya, sedangkan obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan
Pasal 106
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar, diberi penanda yang memenuhi syarat objektivitas dan kelengkapan dan tidak menyesatkan. Pemerintah berwenang mencabut izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan yang terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan
Pasal 108
tenaga kefarmasian adalah salah satu tenaga kesehatan yang bila tidak ada ditempat, praktik kefarmasian dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya secara terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 196
Jika memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
197
Jika sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)
198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian akan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)




PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2014
TENTANG KESEHATAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1.    Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
2.   Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan di bawah jenjang Diploma Tiga.
7. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap Tenaga Kesehatan untuk dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah lulus uji Kompetensi.
8. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi
10. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti  tertulis yang diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga Kesehatan kepada Tenaga Kesehatan yang telah diregistrasi.
11. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti
      Tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah   
      kabupaten/kota kepada Tenaga Kesehatan sebagai
     pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik.
 BAB III
KUALIFIKASI DAN PENGELOMPOKAN TENAGA KESEHATAN
PASAL 11
(6) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
BAB X
PENYELENGGARAAN KEPROFESIAN
PASAL 65
(2) Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, tenaga teknis kefarmasian dapat menerima pelimpahan pekerjaan kefarmasian dari tenaga apoteker.
(3)   Pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:
a. tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan keterampilan yang telah dimiliki oleh penerima pelimpahan;
b. pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan pemberi pelimpahan;
c. pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilimpahkan sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan; dan
d. tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk pengambilan keputusan sebagai dasar pelaksanaan tindakan.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2016
TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT
Pasal 1
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Pasal 2
Tujuan pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pemusnahan;
f. pengendalian; dan
g. pencatatan dan pelaporan.
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengkajian dan pelayanan Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. rekonsiliasi Obat;
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
e. konseling;
f. visite;
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. dispensing sediaan steril; dan
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
(4) Pelayanan farmasi klinik berupa dispensing sediaan steril sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf j hanya dapat dilakukan oleh Rumah Sakit yang mempunyai sarana untuk melakukan produksi sediaan steril.
Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional.
(2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. sumber daya manusia; dan b. sarana dan peralatan.
(3) Pengorganisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan uraian tugas, fungsi, dan tanggung jawab serta hubungan koordinasi di dalam maupun di luar Pelayanan Kefarmasian yang ditetapkan oleh pimpinan Rumah Sakit.
Pasal 5
(1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, harus dilakukan evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
(1) Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.
(2) Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit melalui sistem satu pintu. (3) Instalasi Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai penanggung jawab. (4) Dalam penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dapat dibentuk satelit farmasi sesuai dengan kebutuhan yang merupakan bagian dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Pasal 8
Rumah Sakit wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian secara berjenjang kepada dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, dan kementerian kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan organisasi profesi.

Pasal 10
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan organisasi profesi.
Pasal 11
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan pengawasan yang dilakukan oleh Kepala BPOM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 12
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 2016
TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

Pasal 1
1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
4. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku.
5. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
6. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
7. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
8. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk penggunaan sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur dalam peraturan perundang-undangan.
9. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
10. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Analis Farmasi.
11. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang bertanggung jawab di bidang kefarmasian dan alat kesehatan.
12. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disingkat Kepala BPOM adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 2
Tujuan pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pemusnahan;
f. pengendalian; dan
g. pencatatan dan pelaporan.
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengkajian Resep;
b. dispensing;
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d. konseling;
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien.
(2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.
Pasal 5
Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Apotek, harus dilakukan evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.
Pasal 8
Apotek wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian secara berjenjang kepada dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, dan kementerian kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan organisasi profesi.

Pasal 10
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan sediaan farmasi dalam pengelolaan sediaan farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan juga oleh Kepala BPOM sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala BPOM dapat melakukan pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap pengelolaan sediaan farmasi di instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan sediaan farmasi.
Pasal 11
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan pengawasan yang dilakukan oleh Kepala BPOM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 12
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.



PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 74 TAHUN 2016
TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS
Pasal 1
1. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
4. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
5. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
6. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk penggunaan sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur dalam peraturan perundang-undangan.
7. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
8. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Analis Farmasi.
9. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disebut Kepala BPOM adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
10. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 2
Tujuan pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pemusnahan;
f. pengendalian; dan
g. pencatatan dan pelaporan.
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengkajian Resep;
b. dispensing;
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d. konseling;
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien.
(2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.
Pasal 5
(1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, harus dilakukan pengendalian mutu Pelayananan Kefarmasian meliputi: a. monitoring; dan b. evaluasi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian mutu Pelayananan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
(1) Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dilaksanakan pada unit pelayanan berupa ruang farmasi.
(2) Ruang farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.
Pasal 8
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan organisasi profesi.
Pasal 9
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan Sediaan Farmasi dalam pengelolaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan juga oleh Kepala BPOM sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala BPOM dapat melakukan pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap pengelolaan sediaan farmasi di instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan obat.
Pasal 10
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan pengawasan yang dilakukan oleh Kepala BPOM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilaporkan secara berkala kepada Menteri. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 12
(1) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, bagi Puskesmas yang belum memiliki Apoteker sebagai penanggung jawab, penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian secara terbatas dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian atau tenaga kesehatan lain yang ditugaskan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota. (2) Pelayanan Kefarmasian secara terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai; dan b. pelayanan resep berupa peracikan Obat, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat. (3) Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian secara terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah pembinaan dan pengawasan Apoteker yang ditunjuk oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar