Rabu, 17 April 2019

potensi ekstrak temulawak dalam sediaan krim memiliki potensi untuk menghambat sinar UV A dan UV B




potensi ekstrak temulawak dalam sediaan krim memiliki potensi untuk menghambat sinar UV A dan UV B

  

KHUSNIA MARDIATIN
16.01.263

  

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2018


 BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kerusakan pada jaringan kulit manusia dapat terjadi secara cepat maupun lambat akibat pengaruh sinar UV. Sinar UV memiliki energi yang dapat menyebabkan perubahan akut seperti eritema, pigmentasi, dan fotosensitivitas, merupakan efek jangka panjang berupa penuaan dini dan keganasan kulit. Sinar UV yang dapat menyebabkan perubahan tersebut memiliki rentang panjang gelombang sekitar 300 nm hingga 400 nm. Radiasi UV dibagi menjadi tiga yaitu pada panjang gelombang yang berbeda UV A (320-400 nm), UV B (290-320 nm), dan UV C (200-290 nm) (Tuchinda, 2006). Sinar UV B dapat menyebabkan penggelapan kulit dan kanker kulit (Zulkarnain et al., 2013). Untuk itu dibutuhkan tabir surya yang dapat melindungi kulit dari bahaya radiasi sinar matahari.
Tabir surya merupakan bahan-bahan kosmetik yang secara fisik atau kimia dapat menghambat penetrasi sinar UV ke dalam kulit (Oroh & Harun, 2001). Berdasarkan mekanisme kerjanya, bahan aktif tabir surya dibagi menjadi 2, yaitu mekanisme fisika (pengeblok fisik) misalnya TiO2, ZnO, CaCO3, dan kaolin, serta mekanisme kimia (penyerap kimiawi) misalnya senyawa turunan para amino benzoic acid (PABA), turunan benzofenon, turunan sinamat, turunan salisilat (Cakyo, 2010).
Selain bahan-bahan sintetis, bahan aktif tabir surya juga dapat diperoleh dari bahan alam. Senyawa-senyawa tabir surya alam umumnya mempunyai inti benzena yang tersubstitusi pada posisi orto atau para yang terkonjugasi dengan gugus karbonil (Finnen, 1987) Senyawa-senyawa tabir surya tersebut antara lain oktil p-metoksisinamat, oktil dimetoksi PABA, dan 2-etilheksil-p-metoksisinamat. Penggunaan bahan alami sebagai bahan tabir surya karena bahan alami memiliki efek yang dapat mengurangi iritasi bagi kulit hyperallergic (Malsawmtluangi et al., 2013).
Salah satu tanaman yang sedang banyak dikembangkan sebagai tabir surya adalah temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Pandji et al., (1993) meneliti empat jenis rimpang dari spesies Zingiberaceae yaitu Curcuma xanthorrhiza, C. zedoaria, Kaempferia galanga dan K. pandurata memiliki tujuh belas komponen terbesar termasuk flavonoid, sesquiterpenoid, dan derivat asam sinamat. Adanya kandungan etil para metoksi sinamat dalam kencur yang merupakan senyawa turunan sinamat berfungsi sebagai pemblok kimia anti ultraviolet B yang berguna sebagai tabir surya (Inayatullah, 1997; Jani, 1993). Menurut Jantan et al., (2012) temulawak memiliki kandungan senyawa ester turunan p-metoksisinamat yaitu senyawa etil p-metoksisinamat (EPMS) sebagai tabir surya.
Sediaan yang banyak digunakan sebagai tabir surya adalah krim, krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relative cair, diformulasikan sebagai emulsi air dalam minyak (A/M) atau minyak dalam air (M/A). Betuk sediaan krim memiliki keuntungan antara lain tidak lengket dan mudah menyebar rata. (Fatmawaty dkk, 2012)
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti potensi ekstrak temulawak dalam sediaan krim tabir surya untuk menghambat sinar UV A dan UV B.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.     Apakah ekstrak temulawak dalam sediaan krim memiliki potensi untuk menghambat sinar UV A dan UV B ?
2.     Berapa nilai pesentase transmisi eritema, persentase transmisi pigmentasi serta SPF ekstrak temulawak dan krim ekstrak temulawak?
3.     Bagaimanakah evaluasi fisik dari krim tabir surya ekstrak temulawak ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.    Untuk mengetahui potensi ekstrak temulawak dalam sediaan krim menghambat sinar UV A dan UV B.
2.     Untuk mengetahui nilai pesentase transmisi eritema, persentase transmisi pigmentasi serta SPF ekstrak temulawak dan krim ekstrak temulawak Untuk mengetahui evaluasi fisik krim temulawak sebelum dan sesudah uji stabilitas dipercepat.
1.4  Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang tanaman yang berpotensi sebagai tabir surya untuk menghambat sinar UV A dan UV B.














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Temulawak
II.1.1 Klasifikasi Tanaman







Gambar 1. Temulawak
Menurut Wijayakusuma (2007) klasifikasi temulawak adalah sebagai berikut :
Divisi              : Spermatophyta
Sub divisi      : Angiospermae.
Kelas              : Monocotyledonae.
Ordo               : Zingiberales.
Keluarga        : Zingiberaceae.
Genus            : Curcuma.
Spesies          : Curcuma xanthorrhiza Roxb.

II.1.2 Morfologi Tanaman
Temulawak termasuk tanaman berbatang basah, tingginya dapat mencapai 2,5 meter. Bunganya berwarna putih kemerah-merahan atau kuning. Panjang tangkai bunga 1,5-3 cm. Kelompok bunga 3-4 buah. Bunganya langsung keluar dari rimpang dan berwarna merah, kelopak hijau muda,sedangkan pangkal bunga bagian atas berwarna ungu (Hernani, 2005)
II.1.3 Kandungan Kimia
Ekstrak etanol temulawak mengandung triterpenoid, alkaloid, fenol, flavonoid, tanin dan glikosida. Kandungan kimia rimpang temulawak  yaitu kurkuminoid yang memberi warna kuning, pati dan minyak atsiri. Kandungan senyawa fenol, flavonoid, triterpennoid dan glikosida lebih dominan daripada senyawa tanin, saponin, dan steroid. Kadar rata-rata minyak atsiri dan pati masing-masing 3,81 % dan 41,45% (Hayani, 2006)
II.2 Simplisia
          Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apa pun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral) (Depkes RI. 1985).
          Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaannya, maka simplisia harus memenuhi persyaratan minimal. Dan untuk memenuhi persyaratan minimaltersebut, ada beberapa faktor yang berpengaruh, antara lain bahan baku simplisia, proses pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan simplisia, cara pengepakan dan penyimpanan simplisia (Depkes RI. 1985)
II.2.1 Penggolongan simplisia
          Simplisia terbagi 3 golongan yaitu :
1.        Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman dan eksudat tanaman. Eskudat tanaman ialah isi yang spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang dikeluarkan dari selnya, dengan cara tertentu atau zat yang dipisahkan dari tanamannya dengan cara tertentu yang masih belum berupa zat kimia murni.
2.        Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni.
3.        Simplisia mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan (mineral) yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni.
II.3 Dasar Pembuatan Simplisia
II.3.1 Simplisia dibuat dengan cara pengeringan.
Pembuatan simplisia dengan cara ini pengeringannya dilakukan dengan cepat, tetapi pada suhu yang tidak terlalu tinggi. Pengeringannya yang dilakukan dengan waktu lama akan mengakibatkan simplisia yang diperoleh ditumbuhi kapang. Pengeringan yang dilakukan pada suhu terlalu tinggi akan mengakibatkan perubahan kimia pada kandungan senyawa aktifnya. Untuk mencegah hal tersebut bahan simplisia yang memerlukan bahan perajangan perlu diatur perajangannya, diperoleh tebal irisan yang pada pengeringan tidak mengalami kerusakan.
II.3.2 Simplisia dibuat dengan cara fermentasi.
Proses fermentasi dilakukan dengan seksama, agar proses tersebut tidak berkelanjutan kearah yang tidak diinginkan.
II.3.3 Simplisa dibuat dengan proses khusus.
Pembuatan simplisa dengan cara penyulingan, pengentalan eksudat nabati, penyarian sari air dan proses khusus lainnya dilakukan dengan berpegangan pada prinsip bahwa simplisia yang dihasilkan harus memiliki mutu sesuai dengan persyaratan.
II.3.4 Simplisia pada proses pembuatan memerlukan air.
Pati, talk dan sebagainya pada proses pembuatannya memerlukan air. Air yang digunakan harus bebas dari pencemaran racun serangga, kuman patogen, logam berat dan lain-lain (Depkes, 1985).
II.4 Tahapan Pembuatan Simplisia
Pembuatan simplisia pada umumnya melalui tahapan, yaitu pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, penyimpanan dan pemeriksaan mutu.


II.4.1 Pengumpulan Bahan Baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisa berbeda-beda antara lain tergantung pada :
1)        Bagian tanaman yang digunakan.
2)        Umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen.
3)        Waktu panen.
4)        Lingkungan tempat tumbuh.
Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif terbentuk secara maksimal di dalam bagian tanaman atau tanaman pada umur tertentu.Penentuan bagian tanaman yang dikumpulkan dan waktu pengumpulan secara tepat memerlukan penelitian. Di samping waktu panen yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat panen dalam sehari. Dengan demikian untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisik senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas sinar matahari.
II.4.2 Sortasi Basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia.Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, baha-bahan asing seperti tanah, krikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikat dapat mengurangi jumlah mikroba awal.
II.4.3 Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya air dari mata air. Bahan simplisa yang mengandung zat yang mudah larut di dalam air yang mengalir, agar pencucian dapat dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin.
II.4.4 Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil langsung dirajang tetapi dijemur dalam keadaan utuh selama satu hari. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin perajangan khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki.
II.4.5 Pengeringan
Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisa yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan rekasi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia.
II.4.6 Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering (Depkes, 1985).
II.5 Ekstraksi
          Ekstrasi adalah kegiatan penarikan kandungan senyawa kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Ekstraksi merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabai atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudain semua atau hamper semua pelarut diuapkan dan massa serbuk yang tersisa diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).
Proses awal pembuatan ekstraksi adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia kering. Dari simplisia itu dibuat serbuk simplisia dengan peralatan tertentu sampai derajat halus. Proses yang dapat mempengaruhi mutu ekstrak adalah:
a.     Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif dan efisien, tetapi makin halus serbuk maka pada kehalusan tertentu akan membuat semakin rumit teknologi peralatan yang digunakan untuk filtrasi.
b.  Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan dan interaksi dengan benda keras (logam dan lain-lain) maka akan timbul panas yang dapat mempengaruhi senyawa kandungan. Namun hal ini dapat dikompensasi dengan menggunakan nitrogen cair.
II.5.1 Ekstraksi Cara Dingin
II.5.1.1 Maserasi
Maserasi merupakan proses ekstraksi dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus) (Depkes, 1987).
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel, maka larutan yang terpekat di desak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak dan lain-lain. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya kapang, dapat ditambahkan pengawet yang diberikan pada awal penyarian.
Penyarian dengan cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari (Depkes, 1986).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, lebih praktis, mudah diusahakan, pelarut yang digunakan lebih sedikit dibandingkan perkolasi dan tidak memerlukan pemanasan. Kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna. Filtrat yang diperoleh dari proses tersebut diuapkan dengan alat penguap putar vakum (rotary evaporator) hingga menghasilkan ekstrak pekat (Harborne, 1996). Metode maserasi dapat dilakukan dengan modifikasi sebagai berikut:
1.  Modifikasi maserasi melingkar.
Maserasi dapat diperbaiki dengan mengusahakan agar cairan penyari selalu bergerak dan menyebar. Dengan cara ini penyari selalu mengalir kembali secara berkesinambungan melalui sebuk simplisia dan melarutkan zat aktifnya.
2.  Modifikasi Maserasi Digesti
Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu pada suhu 40–50°C. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan.
3.  Maserasi Melingkar Bertingkat
Pada maserasi melingkar, penyarian tidak dapat dilaksanakan secara sempurna, karena pemindahan massa akan berhenti bila keseimbangan telah terjadi masalah ini dapat diatasi dengan maserasi melingkar bertingkat (M.M.B).
4.  Modifikasi Remaserasi
Cairan penyari dibagi menjadi, Seluruh serbuk simplisia di maserasi dengan cairan penyari pertama, sesudah diendapkan, tuangkan dan diperas, ampas dimaserasi lagi dengan cairan penyari yang kedua.
5.  Modifikasi dengan Mesin Pengaduk
Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus-menerus, waktu proses maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam.
II.5.1.2 Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Pada perkolasi, serbuk tanaman direndam dalam pelarut pada sebuah alat percolator, bentuknya seperti kerucut terbalik. Bahan padat basah dimasukkan dalam jumlah yang tetap kemudian didiamkan selama sekitar 4 jam dalam keadaan tertutup. Setelah itu cairan penyari akan menetes melewati serbuk tanaman, mengganti pelarut yang keluar berupa ekstrak. Seperti pada maserasi, untuk mengekstrak secara menyeluruh dilakukan dengan penambahan pelarut yang baru (fresh solvent) dan serbuk dikumpulkan.
II.5.2 Ekstraksi Cara Panas
II.5.2.1 Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi secara kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 1985).
Ekstraksi sokletasi hanya diperlukan bila senyawa yang diinginkan memiliki kelarutan terbatas dalam suatu pelarut. Keuntungan dari metode ini adalah banyaknya bagian tanaman akan terlarut dengan kondisi pemanasan. Kelemahannya adalah tidak dapat digunakan untuk senyawa yang tidak tahan pemanasan karena pemanasan yang berkepanjangan dapat menyebabkan degradasi senyawa aktif.
II.5.2.2 Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur lebih tinggi dari temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Kekurangan yang utama dari metode ini adalah terdegradasinya komponen yang tidak tahan panas.
II.5.2.3 Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu secara umum dilakukan pada temperature 40o-50oC. Temperatur yang cukup tinggi akan meningkatkan efisiensi pelarut.
II.5.2.4 Infusa
Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infuse tercelup dalam penangas air mendidih), temperatur terukur (96 o – 98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).
II.5.2.5 Dekok
Dekok adalah infusa yang dilakukan dengan cara perebusan dengan air pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air. Metode ini digunakan untuk ekstraksi bahan tanaman larut air dan stabil terhadap panas (Depkes RI, 2000).
II.6 Cairan Penyari
          Bermacam-macam pelarut dapat digunakan akan tetapi pelarut toksik harus di hindari. Pelarut yang di gunakan dapat di lihat pada Farmakope Indonesia. Pelarut dapat digunakan berdasarkan pertimbanagan suhu didih agar mudah diuapkan/dihilangkan (Agoes, 2007)
Untuk ekstraksi, BPOM menetapkan bahwa pelarut yang diizinkan dalam proses ekstraksi/fraksinasi tumbuhan dalam produk obat bahan alam dan suplemen kesehatan adalah air, etanol, metanol, asam asetat, aseton dan etanol-air atau eter.
II.7 Jenis Ekstrak
Berdasarkan atas sifatnya, ekstrak dikelompokkan menjadi 4 yaitu :
1.  Esktrak Encer (Extractum tenue)
Sediaan ini memiliki konsistensi seperti madu dan dapat di tuang.
2.  Ekstrak Kental (Extractum spissum)
Sediaan ini liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang.
3.  Ekstrak Kering (Extractum siccum)
Sediaan ini memiliki konsistensi kering dan mudah digosokkan, melalui penguapan cairan pengekstraksi.
4.  Ekstrak Cair (Extractum fluidum)
Sediaan ini dibuat sedemikian rupa sehingga satu bagian simplisia sesuai dengan dua bagian (kadang-kadang satu bagian) ekstrak cair (Voight, 1994).
II.5 Uraian Kulit





Gambar 2. Anatomi Kulit
Kulit merupakan “selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam ganggu    an dan rangsangan luar. Kulit adalah organ tubuh terbesar yang membentuk 15% berat badan total (Gibson, 2002). Kulit terdiri dari tiga lapisan yang masingmasing terdiri dari berbagai jenis sel dan memiliki fungsi yang bermacam-macam. Ketiga lapisan tersebut adalah epidermis, dermis, dan subkutis (Wasiatmadja dan Syarif, 2007).
II.5.1 Struktur Kulit
Secara garis besar kulit terbagi atas tiga   lapisan utama yaitu :
1.    Lapisan Epidermis, lapisan ini terdiri atas stratum corneum, stratum lucidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.
a.    Stratum Corneum (Lapisan Tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar terdiri atas beberapa lapisan sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk). Secara alami, sel-sel yang sudah mati di permukaan kulit akan melepaskan diri untuk beregenerasi. Permukaan stratum corneum dilapisi oleh suatu lapisan pelindung lembab tipis yang bersifat asam disebut Mantel Asam Kulit.
b.    Stratum Lucidum (daerah sawar atau lapisan jernih) terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepang tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki.
c.    Stratum Granulosum (lapisan keratohialin) merupakan dua atau tiga lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin.
d.    Stratum Spinosum (stratum malphigi atau sel duri) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk polygonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Diantara sel-sel spinosum terdapat pula sel Langerhans.
e.    Stratum Basale (stratum germinativum) terdiri atas sel-sel berbentuk kubus yang tersusun vertikal. Di dalam stratum basal terdapat sel-sel melanosit yaitu sel-sel yang tidak mengalami keratinasi dan fungsinya hanya membentuk pigmen melanin dan memberikannya kepada sel-sel keratinosit melalui dendritnya.
2.    Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal dari pada epidermis. Lapisan ini terbentuk oleh lapisan elastis dan fibrosa padatdengan elemen selular, kelenjar dan folikel rambut. Secara garis besar dermis dibagi menjadi dua bagian yaitu :
a.    Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut sarafdan pembuluh darah.
b.    Pars retikulare, yaitu bagian bawah dermis yang menonjol kearah subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin, dan retikulin.
3.    Lapisan subkutis (hypodermis) adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Lapisan sel-sel lemak disebut penikulus adipose yang berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening.
II.3.2 Fisiologi Kulit
Fungsi kulit antara lain :
1.    Proteksi, kulit akan menjaga bagian tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis. Serabut elastis yang terdapat pada dermis serta jaringan lemak subkutan berfungsi mencegah trauma mekanik langsung terhadap interior tubuh. Lapisaan tanduk dan mantel lemak kulit menjaga kadar air tubuh dengancara mencegah keluarnya air dari dalam tubuh dan mencegah penguapan air, dapat berfungsi sebagai barrier terhadap racun dari luar. Selain itu, mantel asam dapat berfungsi untuk mencegah pertumbuhan bakteri di kulit.
2.    Absorpsi, beberapa bahan dapat diabsorpsi kulit masuk ke dalam tubuh melalui dua jalur yaitu melalui epidermis dan kelenjar sebasea. Permeabilitas kulit terhdap oksigen, karbondioksida dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsirespirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi kelembapan dan metabolism.
3.    Ekskresi,kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkanzat-zat yang tidak berguna lagiatau sisa metabolism berupa NaCl, urea, asam urat dan ammonia.
4.    Persepsi sensoris, kulit bertanggung jawab sebagai indera terhadap rangsangan dari luar berupa tekanan, raba, suhu, dan nyeri melalui beberapa reseptor seperti benda meissner, diskus markell dan korpuskulum golgi sebagai reseptor raba, korpuskulum pacini sebagai reseptor tekanan, korpuskulum ruffini dan benda krauss sebagai reseptor suhu dan nervus and plate sebagai reseptor nyeri. Rangsangan dari luar diterima oleh reseptor-reseptor tersebut dan diteruskan ke saraf pusat dan selanjutnya diinterpretasi oleh korteks selebri.
5.    Pengaturan suhutubuh,kulit melakukan pertahanan ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Pada saat tempratur badanmeningkat terjadi vasodilatasi untuk meningkatkan pembuangan panas.
6.    Pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal. Jumlah, tipe, ukuran dan distribusi pigmen melanin akan menentukan variasi warna kulit seseorang.
7.    Keratinisasi, proses ini berlangsung secara normal kia-kira selama 14-21 hari dan memberikan perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis dan fisiologik.


II.5.3 Jalur Penetrasi Kulit
a.      Penetrasi Secara Transepidermal
Penetrasi transepidermal dapat secara interseluler dan intraseluler. Penetrasi interseluler merupakan jalur yang dominan, obat akan menembus stratum korneum melalui ruang antar sel pada lapisan lipid yang mengelilingi sel korneosit. Difusi dapat berlangsung pada matriks lipid protein dari stratum korneum. Setelah berhasil menembus stratum korneum obat akan menembus lapisan epidermis sehat di bawahnya, hingga akhirnya berdifusi ke pembuluh kapiler. Penetrasi secara intraseluler terjadi melalui difusi obat menembus dinding stratum korneum sel korneosit yang mati dan juga melintasi matriks lipid protein startum korneum, kemudian melewatinya menuju sel yang berada di lapisan bawah sampai pada kapiler di bawah stratum basal epidermis dan berdifusi ke kapiler (Sharma, 2008)
b.      Rute Appendageal
Rute appendageal melalui kelenjar keringat dan folikel rambut dengan kelenjar keringat. Rute ini bermanfaat bagi obat dengan molekul besar yangbersifat polar dan molekul ion yang tidak bias berpenetrasi melalui stratum corneum. Rute ini dapat menghasilkan difusi yang lebih cepat segera setelah penggunaan.



II.5.4  Tipe Kulit
Berdasarkan perbedaan genetik yang penting dalam hal kemampuan merespon terhadap radiasi ultraviolet (UV), maka kulit terbagi atas tipe-tipe tertentu (James, 2009), yaitu :
a.    Tipe I   : selalu terbakar, tak pernah menjadi coklat
b.    Tipe II  : mudah terbakar, jarang menjadi coklat
c.    Tipe III : kadang-kadang terbakar, mudah menjadi coklat
d.    Tipe IV : tidak pernah terbakar, mudah menjadi coklat
e.    Tipe V  : secara genetik coklat (India atau Mongoloid)
f.     Tipe VI : secara genetik hitam (Kongoid dan Negroid)
II.6 Sinar Ultraviolet
Sinar UV yang dapat menyebabkan masalah pada kulit memiliki rentang panjang gelombang sekitar 300 nm hingga 400 nm. Radiasi UV dibagi menjadi tiga yaitu UV A (320-400 nm), UV B (290-320 nm) dan UV C (200-290 nm) (Tuchinda, 2006). (Zulkarnain et al., 2013). Semakin pendek panjang gelombang radiasi ultraviolet semakin besar pula bahayanya terhadap kehidupan, tetapi semakin baik ia diabsorpsi oleh lapisan ozon. Radiasi dengan panjang gelombang pendek yaitu UV C yang dapat mematikan makhluk hidup. Ultraviolet dengan panjang gelombang lebih panjang yaitu UV A relatif kurang berbahaya  dan UV B meskipun masih tetap berbahaya, tetapi UV B tidak sehebat bahaya UV C.
Radiasi UV yang berperan dalam kesehatan manusia terdiri dari UV A dan UV B. Sebanyak 95-98% radiasi UV yang mencapai permukaan bumi terdiri dari UV A, sedangkan sisanya sekitar 2-5% adalah sinar UV B. Intensitas UV A dalam sinar matahari mencapai 500-1000 kali lebih besar dibandingkan UV B (Sukma, 2015). UV B merupakan sinar ultraviolet yang efektif menembus bumi dan mengakibatkan kerusakan pada kulit manusia. Kerusakan yang terjadi oleh karena radiasi UV B adalah lebih pada kerusakan DNA sel yang merupakan kromofornya. Gejala kerusakan yang terjadi akibat penyerapan UV B ke epidermis berupa eritema. Panjang gelombang dari ultraviolet yang paling efektif menyebabkan eritema yaitu 250-290 nm dan semakin berkurang efek eritemanya seiring dengan bertambahnya panjang gelombang (Sukma, 2015). UV A dapat menyebabkan inflamasi, pigmentasi, photoaging, imunosupresi dan kanker (Ho, 2001).
II.7 Tabir Surya
Tabir surya adalah zat yang dapat menyerap sedikitnya 85% sinar matahari pada panjang gelombang 290 sampai 320 nm tetapi dapat meneruskan sinar pada panjang gelombang lebih dari 320 nm. Secara umum sinar matahari sangat bermanfaat bagi kehidupan makhluk hidup. Manfaat sinar matahari antara lain sebagai sumber cahaya dan energi selain itu juga digunakan untuk membantu fotosintesis tumbuhan berklorofil. Manusia membutuhkan sinar matahari untuk membantu pembentukan vitamin D yang dibutuhkan oleh tulang. Namun salah satu akibat paparan sinar matahari yang terus menerus dalam jangka waktu lama adalah terjadinya perubahan bentuk kulit yang disebut dermatoheliosis, yaitu kulit menjadi berwarna pucat kekuningan, keriput, disertai timbulnya bercak hitam yang tidak merata pada permukaan kulit yang terkena paparan sinar tersebut (Wasitaatmadja, 2007)
Berdasarkan kandungan zat aktifnya, sediaan tabir surya dibedakan menjadi 2 yaitu sunblock dan sunscreen. Sunblock merupakan sediaan tabir surya yang mekanisme kerjanya secara fisik memantulkan sinar UV, sedangkan sunscreen secara kimia menyerap sinar UV agar tidak menyerang sel kulit (Tranggono dkk., 2007)
Menurut Cumpelik (1972) suatu sediaan tabir surya disebut sebagai sunblock apabila nilai persentase trnasmisi eritema < 1% dan nilai persentase transmisi pigmentasi 3-40%. Sediaan tabir surya disebut sunscreen apabila nilai persentase transmisi eritema 6–18% dan nilai persentase transmisi pigmentasi 45-86%.
II.7.1 Eritema
Eritema merupakan salah satu tanda terjadinya proses inflamasi akibat paparan sinar UV dan terjadi apabila volume darah dalam pembuluh darah dermis meningkat hingga 38% diatas volume normal. Pada manusia, respon eritema cepat biasanya hanya terjadi pada orang kulit tipe I dan II, tetapi respon eritema tetapi respon eritema lambat dapat terjadi pada setiap orangyang terpapar sinar UV B (Fisher GJ dkk,1997). Pada orang yang berkulit tipe II dan IV respon ini mulai tampak setelah 3-12 jam dan mencapai puncaknya 20-24 jam sertelahpaparan UV B yang ditandai dengan eritema, diikuti juga dengan gatal dan nyeri pada daerah yang terpapar sinar.
II.7.2 Pigmentasi
Peningkatan pigmen setelah paparan sinar UV terjadi dalam dua tahap yaitu secara cepat dan lambat. Pigmentasi cepat merupakan pigmentasi akibat oksidasi melanin pada saat paparan sinar UV A dan segera menghilang bila papran dihentikan. Respon ini tampak jelaspada orang berkulit gelap. Respon pigmentasi lambat terjadi secara bertahap, 48-72 jam stelah terpapar sinar UV B akibat pembentukan melanin baru dan mencapai puncaknya setelah 5-7 hari dan menghilang setelah beberapa minggu (Hansersenfeld, 1999)
II.7.3 SPF (Sun Protection Factor)
SPF (Sun Protection Factor) merupakan satuan yang biasa dicantumkan pada suatu tabir surya. Dimana perlindungan tabir surya tersebut dalam kisaran panjang gelombang UVB (290 nm - 320 nm). Diasumsikan apabila semakin tinggi nilai SPF, maka perlindungan terhadap kulit juga semakin tinggi namun tidak dalam artian mampu melindungi kulit 100%. SPF merupakan perbandingan ukuran berapa banyak UV yang diperlukan untuk membakar kulit ketika dilindungi dengan tidak dilindungi oleh tabir surya. Sun Protection Factor (SPF) atau faktor proteksi cahaya memiliki rentang nilai antara 2-60.
Para ahli dermatologi merekomendasikan penggunaan tabir surya dengan nilai SPF minimal 15 atau 30. Penilaian nilai SPF dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Penilaian SPF menurut Food and Drug Administration (FDA)
Tipe proteksi
Nilai SPF
Proteksi minimal
1-4
Proteksi sedang
4-6
Proteksi ekstra
6-8
Proteksi maksimal
8-15
Proteksi ultra
>15
Sumber: Charisma (2012)
II.8 Sediaan Tabir Surya
Sediaan tabir surya adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud menyerap secara efektif sinar matahari terutama didaerah gelombang ultraviolet sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan kulit oleh sinar matahari. Tabir surya dapat dibuat dalam berbagai bentuk sediaan seperti : krim,losio dan salep (Departemen Kesehatan RI, 1985).
II.9 Sediaan Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu ataulebih bahan obat terlarut atau secara tradisional telah digunakan untuk sediaansetengah padat yangmempunyai konsistensi relative cair, diformulasikan sebagai emulsi air dalam minyak (A/M) atau minyak dalam air (M/A). Betuk sediaan krim memiliki keuntungan antara lain tidak lengket dan mudah menyebar rata. (Fatmawaty dkk, 2012)
Prinsip pembuatan krim adalah berdasarkan proses penyabunan (safonifikasi) dari suatu asam lemak tinggi dengan suatu basa dan dikerjakan dalam suasana panas yaitu temperatur 700 - 800 C. (Dirjen POM,1995).
II.10 Uraian Bahan Tambahan
1.  Setil alkohol
Rumus molekul : C15H34O
Setil alkohol merupakan lilin, putih garanul atau persegi. Memiliki bau dan rasa yang khas. Setil alkohol umumnya digunakan dalam sediaan farmasi dan kosmetik, seperti lotion, krim dan salep, digunakan karena sifat emolien dan emulgator. Dalam emulsi M/A setil alkohol dapat meningkatkan stabilitas dari emulsi. Memiliki titik lebur 45-54˚C.  konsentrasinya 2-5% (Kibbe, A.H. 2000).
2.  Asam stearat
Rumus molekul : C18H36O2
Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari lemak. Merupakan zat padat, keras mengkilat menunjukkan susunan hablur, putih atau kuning pucat, mirip lemak lilin, praktis tidak larut dalam air, larut dalam 20 bagian etanol (95%)P, dalam 2 bagian kloroform P, suhu lebur tidak kurang dari 54˚C. asam stearat merupakan bahan pengemulsi. Digunakan luas secara oral dan topikal dalam formulasi. Untuk penggunaan topikal asam stearat digunakan sebagai bahan pengemulsi pada konsentrasi kecil atau sama dengan 5-15%. Digunakan umumnya karena tidak toksik dan tidak mengiritasi (Kibbe, A.H. 2000).
3.  Lanolin
Lanolin merupakan zat seperti lilin yang diperoleh dari bulu domba. Hydrous lanolin atau lanolin hidrat merupakan lanolin yang mengandung air 25% - 30%. Lanolin berwarna kuning pucat, lengket, berupa bahan seperti lemak dan berbau khas. Tidak larut dalam kloroform, eter, dan air. Hanya komponen lemak lanolin hidrat yang larut dalam pelarut organik. Pada sediaan farmasi lanolin sering digunakan dalam sediaan topikal dan kosmetik sebagai emulsifying agent dan emolient terutama dalam krim dan basis salep (Rowe et al., 2009).
4.  Gliserin Monostearat
Rumus molekul : C21H42O4
Gliserin Monostearat seperti lilin dalam bentuk manik-manik, serpih, atau bubuk berwarna putih krem. Disentuh seperti lilin dan memiliki bau lemak sedikit dan rasa. Larut dalam etanol panas, eter, kloroform, aseton panas, minyak mineral, dan minyak tetap. Praktis tidak larut dalam air, tetapi mungkin tersebar dalam air dengan bantuan sebagian kecil sabun atau surfaktan lainnya. Digunakan sebagai emolien dan emulsifying pada konsentrasi 1-10% (Rowe, et all., 2009).


5.  Sorbitol
Rumus molekul : C6H14O6
Sorbitol mengandung tidak kurang dari 91,0% dan tidak lebih dari 100,5% C6H14O6 dihitung terhadap zat anhidrat. Dapat mengandung sejumlah kecil alkohol polihidrik lain, manisnya sorbitol 0,5 - 0,6 manisnya sukrosa (Daruwala, 1975).
Sorbitol merupakan humektan yang dapat mengikat air dalam makanan atau air bebas yang terdapat dalam bahan diikat oleh sorbitol. Semakin tinggi penambahan sorbitol maka air bebas yang dapat diikat dan ditahan dalam bahan juga semakin banyak (Zubaidah, 2002)
6.  Trietanolamin (TEA)
Triethanolamin mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 107,4% dihitung terhadap zat anhidrat sebagai triethanolamin. Dengan pemerian cairan kental, tidak berwarna hingga kuning pucat, bau lemah mirip amoniak, higroskopik. Kelarutannya mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, larut dalam kloroform. Kegunaan : sebagai zat tambahan (Depkes, 1979).
Trietanolamin digunakan secara luas pada formulasi sediaan topikal. Trietanolamin akan bereakasi dengan asam mineral menjadi bentuk garam kristal dan ester dengan adanya asam lemak tinggi. Trietanolamin dapat berubah menjadi warna coklat dengan paparan udara dan cahaya. Kegunaannya adalah sebagai penstabil karbopol. Trietahnolamin memiliki pH 10,5 dan larut dalam air, metanol, karbon tetraklorida dan aseton (Rowe, dkk.,2009).
7.  Metil paraben
Rumus molekul : C8H8O3
Merupakan serbuk putih, berbau, serbuk higroskopik, mudah larut dalam air. Digunakan sebagai pengawet pada kosmetik, makanan dan sediaan farmasetik. Dapat digunakan sendiri, kombinasi dengan pengawet paraben lain atau dengan antimikroba lainnya. Lebih efektif terhadap gram negatif dan pada gram positif. Aktif pada pH antara 4-8. Efektifitas pengawetnya meningkat dengan peningkatan pH. Mempunyai titik lebur 125˚C - 128˚C. konsentrasinya antara 0,02-0,3% (Depkes RI, 1995 dan Kibbe, A.H. 2000).
8.  Propil paraben
Rumus molekul : C10H12O3
Merupakan kristal putih, berbau dan berasa. Aktif pada range pH 4-8. lebih efektif pada gram positif dibandingkan dengan gram negatif. Dapat digunakan sendiri atau kombinasi dengan paraben lainnya. Memiliki titik lebur 95˚C - 98˚C. konsentrasi 0,01-0,6% (Depkes RI, 1995 dan Kibbe, A.H. 2000).
9.  Aquadest
Rumus molekul : H2O
Merupakan cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa. Digunakan sebagai bahan baku, bahan dan pelarut dalam pengolahan dan pembuatan produk farmasi. Titik didih air 100˚C dan titik lebur 0˚C (Depkes RI, 1995 dan Kibbe, A.H. 2000).



















BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan merupakan jenis penelitian eksperimental berskala laboratorium.
III.2   Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar, Laboratorium Farmasetika Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar dan Laboratorium Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar pada bulan November 2017 sampai Februari 2018.
III.3 Alat Dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain bejana maserasi, batang pengaduk, cawan porselen, gunting, gelas beker, hot plate, Lumpang-alu,  pot salep, Spektrofotometer UV-Vis UV-1800 (SHIMADZU), sudip, timbangan analitik dan viskometer.
Bahan yang digunakan yaitu aluminium foil, etanol pro analisis, etanol 70% dan 96% (technical grade) kertas perkamen, setil akohol, asam stearat, lanolin, gliserin, sorbitol, trietanolamin, metil paraben, propil paraben, dan air suling.


III.4 Penyiapan Sampel Penelitian
II.4.1 Pengambilan Sampel
Sampel segar temulawak diambil dari Desa Sukarara Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat
II.4.2 Pengolahan Sampel
            Sebanyak 200 gram rimpang temulawak diambil kemudian dicuci bersih dengan air mengalir, dirajang lalu dikeringkan hingga diperoleh simplisia kering kemudian di potong kecil-kecil
II.4.3 Ekstraksi Sampel
Ekstraksi rimpang temulawak dilakukan dengan cara maserasi menggunakan etanol 96% selama 3x24 jam dalam wadah terlindung dari cahaya dan sesekali diaduk kemudian disaring, dilakukan remaserasi sampai diperoleh ekstrak cair, diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental.
III.5 Prosedur Penelitian
III.5.1 Penentuan Nilai Transmisi Eritema
Nilai transmisi eritema yaitu jumlah energi sinar ultraviolet penyebab eritema pada panjang gelombang 292,5337,5 nm. Nilai transmisi eritema didapat dari hasil perkalian masing-masing nilai transmisi (T) dengan faktor keefektifan eritema (Fe) pada panjang gelombang penyebab eritema. Jumlah energi sinar ultraviolet penyebab eritema adalah penjumlahan hasil perkalian transmisi dengan faktor keefektifan eritema pada panjang gelombang 292,5337,5 nm. Persentase eritema dapat di hitung dengan rumus :
% Transmisi Eritema  : Te =  = 
Keterangan :
Ee = Energi eritema
T = Transmisi
Fe = Faktor keefektifan eritema
III.5.2 Penentuan Nilai Transmisi Pigmentasi
Nilai transmisi pigmentasi merupakan jumlah energi sinar ultraviolet penyebab pigmentasi pada panjang gelombang 292,5 372,5 nm yang diteruskan oleh sediaan tabir surya. Nilai transmisi pigmentasi didapat dari hasil perkalian masing-masing nilai transmisi (T) dengan faktor keefektifan pigmentasi (Fp) pada panjang gelombang penyebab pigmentasi. jumlah energi sinar ultraviolet penyebab pigmentasi adalah penjumlahan hasil perkalian transmisi dengan faktor keefektifan pigmentasi pada panjang gelombang 292,5 372,5 nm.
Persentase pigmentasi dapat di hitung dengan rumus :
% Transmisi Pigmentasi  : Tp =  = 


Keterangan :
Ep = Energi pigmentasi
T = Transmisi
Fp = Faktor keefektifan pigmentasi
III.5.3 Penentuan Nilai SPF Ekstrak
Ekstrak etanol temulawak dibuat seri kadar dari 250 ppm, 125 ppm, 62,5 ppm, 31,25 ppm, 15,625 ppm, dan 7,18 ppm. Spektrofotometer UV-vis dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan etanol 70 % dan etanol 70 % sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam kuvet. Dibuat kurva serapan uji dalam kuvet dengan panjang gelombang antara 290-320 nm, etanol 70 % digunakan sebagai blanko. Kemudian tetapkan serapan rata-ratanya dengan interval 5 nm. Hasil absorbansi masing-masing konsentrasi krim dicatat dan kemudian nilai SPFnya dihitung.
Nilai SPF dianalisis menggunakan metode dari Mansur (1986) :
            SPFSpektrofotometer = CF x
Keterangan :
CF = Faktor Korelasi (10)
EE = Efisiensi Eriterma
I = Spektrum Simulasi Sinar Surya.
Abs = Absorbansi
Nilai EE X I adalah konstan dan ditunjukkan pada Tabel 1 berikut (Sayre, 1979) :
Tabel 2. Normalized product function digunakan pada kalkulasi SPF
No.
Panjang Gelombang (λ nm)
EE X I
1.
290
0.0150
2.
295
0.0817
3.
300
0.2874
4.
305
0.3278
5.
310
0.1864
6.
315
0.0839
7.
320
0.0180
Total
1

Cara perhitungan :
1.    Nilai serapan yang diperoleh dikalikan dengan nilai EE x I untuk masing-masing panjang gelombang yang terdapat pada tabel diatas.
2.    Hasil perkalian serapan dan EE x I dijumlahkan.
3.    Hasil penjumlahan kemudian dikalikan dengan faktor koreksi yang nilainya 10 untuk mendapatkan nilai SPF ekstrak
III.5.4 Formulasi
Formula yang akan digunakan dalam formulasi krim tabir surya ekstrak temulawak dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Formula Sediaan Krim
Bahan
Formula (%)
Formula I
Formula II
Formula III
Ekstrak Temulawak
62,5 ppm
312,5 ppm
625 ppm
Asam Stearat
14
14
14
Gliseril Monostearat
5
5
5
Lanolin
2
2
2
Stearyl Alcohol
2
2
2
Sorbitol
2
2
2
Triethanolamin
0,6
0,6
0,6
Metil Paraben
0,2
0,2
0,2
Propil Paraben
0,1
0,1
0,1
Aquadest ad
100
100
100
Basis yang digunakan adalah basis berdasarkan formula resmi Keithler (1956) The Formulation of Cosmetics and Cosmetic Specialties.
III.5.5 Pembuatan Sediaan Krim
Ditimbang semua bahan sesuai perhitungan masing-masing. Fase minyak dibuat dengan melebur campuran asam stearat, stearil alkohol, lanolin, propil paraben kemudian suhu dipertahankan hingga 75ºC. Fase air dipanaskan dengan campuran metil paraben, gliserin monostearat, sorbitol, triethanolamin, dan sisa volume air kemudian dipertahankan suhunya hingga 75ºC.
Krim dibuat dengan mencampurkan fase minyak dan fase air secara bersamaan ke dalam lumpang sambil diaduk hingga homogen dan terbentuk massa krim yang tidak terpisah. Kemudian ditambahkan ekstrak etanol temulawak, diaduk hingga homogen.

III.5.6 Penentuan Nilai SPF Krim
Masing-masing krim tabir surya ekstrak etanol temulawak dibuat kadar dari konsentrasi 100 ppm. Spektrofotometer UV-vis dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan etanol 70 % dan etanol 70 % sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam kuvet. Dibuat kurva serapan uji dalam kuvet dengan panjang gelombang antara 290-320 nm, etanol 70 % digunakan sebagai blanko. Kemudian tetapkan serapan rata-ratanya dengan interval 5 nm. Hasil absorbansi masing-masing konsentrasi krim dicatat dan kemudian nilai SPFnya dihitung dan dianalisis menggunakan metode dari Mansur (1986)
III.5.7 Uji Stabilitas Fisik Sediaan Krim
1.    Pemeriksaan organoleptis dan homogenitas
Pemeriksaan organoleptis meliputi bau dan warna.Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan cara ditimbang 0,1 gram sediaan kemudiaan dioleskan secara merata dan tipis pada kaca arloji. Krim harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya bintik bintik (Depkes RI, 1985). Pemeriksaan dilakukan terhadap krim yang baru dibuat dan yang telah disimpan selama 7 hari.
2.    Pemeriksaan pH krim
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Alat tersebut dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan larutan dapar pH 4 dan pH 10. Pemeriksaan pH dilakukan dengan mencelupkan elektroda ke dalam 1 gram sediaan krim yang diencerkan dengan air suling hingga 10 ml (Depkes RI, 1985).
3.    Uji Viskositas
Uji viskositas ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kekentalan dari sediaan krim. Pada pengukuran viskositas ini di gunakan alat viskometer Brookfield dengan menggunakan spindle no. 6 pada 64 rpm.
4.    Uji daya lekat
Uji daya lekat dilakukan untuk mengetahui kemampuan krim untuk melekat pada permukaan kulit. Pengujian daya lekat dilakukan dengan menimbang 0,5 gram krim, diletakkan diatas objek glass kemudian ditutup dengan objek glass lagi lalu diberi beban 50 gram. Dihitung lama waktu hingga obyek glass terlepas. Persyaratan daya lekat yang baik untuk sediaan topikal adalah lebih dari 4 detik (Rachmalia et al., 2016).
5.    Uji Daya Sebar
Sediaan sebanyak 0,5 gram diletakkan dengan hati-hati diatas kaca transparan yang dilapisi kertas grafik, dibiarkan sesaat (15 detik) dan dihitung luas daerah yang diberikan oleh basis, lalu ditutup dengan plastik transparan. Kemudian diberi beban tertentu diatasnya 150 gram dan dibiarkan selama 60 detik. Lalu hitung pertambahan luas yang diberikan oleh basis (Voigt, 1994).


6.    Pemeriksaan tipe krim
Pemeriksaan tipe krim dilakukan dengan cara memberikan satu tetes larutan metilen biru pada 0,1 gram krim, kemudian diamati penyebaran warna metilen biru dalam sediaan dibawah mikroskop. Jika warna menyebar secara merata pada sediaan krim, berarti tipe krim adalah minyak dalam air (M/A), tetapi jika warna hanya berupa bintik-bintik, berarti tipe krim adalah air dalam minyak (A/M) (Depkes RI, 1985).
III.6   Analisis Data
Data yang diperoleh merupakan nilai persentase transmisi eritema, transmisi pigmentasi, serta nilai SPF.










BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil Ekstraksi
          Penelitian ini diawali dengan pengolahan sampel dengan mengesktraksi temulawak menggunakan pelarut etanol 96%. Sampel sebanyak 200 gram diekstraksi dengan cairan penyari etanol 96% sebanyak 1.500 ml menggunakan metode maserasi. Metode maserasi dipilih karena pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, lebih praktis, mudah diperoleh, pelarut yang digunakan lebih sedikit dan tidak memerlukan pemanasan (Harborne, 1996).
Tabel 4. Rendemen Ekstrak
Bobot simplisia
Bobot ekstrak
% Rendemen
200 gram
24,82 gram
12,41%
          Hasil penelitian pada tabel 4 menunjukkan hasil rendemen ekstrak sebanyak 12,41%.
IV.2  Uji Aktivitas Tabir Surya Ekstrak Etanol Temulawak
          Ekstrak etanol temulawak ditentukan nilai persentase transmisi eritema, persentase transmisi pigmentasi dan nilai SPFnya. Hasil pengukuran nilai persentase transmisi eritema, persentase transmisi pigmentasi, dan nilai SPF ekstrak etanol temulawak dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Hasil Pengukuran nilai persentase transmisi eritema, persentase transmisi pigmentasi, dan nilai SPF ekstrak etanol temulawak

Sampel
Konsentrasi (ppm)
% Transmisi eritema
% Transmisi pigmentasi
Kategori
Nilai SPF
Proteksi
Ekstrak etanol temulawak
7.18
78
95
-
0.9
-
15.625
50
81
-
2
Proteksi Minimal
31.25
32
75
-
4
Proteksi Sedang
62.5
9
53
Sunscreen
9
Proteksi Maksimum
125
0.8
28
Sunblock
21
Proteksi Ultra
250
0.03
9

40
Proteksi Ultra

Pada tabel 5 diperoleh hasil bahwa ekstrak etanol temulawak dengan konsentrasi 62,5 ppm termasuk dalam kategori suntan (sunscreen) dengan nilai persentasi transmisi eritema 9% dan persentase transmisi pigmentasi 53%, sedangkan ekstrak etanol temulawak dengan konsentrasi 125 ppm termasuk kategori sunblock dengan persentase transmisi eritema sebesar 0,8% dan persentase transmisi pigmentasi sebesar 28%. Pada hasil pengukuran SPF terlihat bahwa ekstrak etanol temulawak dengan konsentrasi 62,5 ppm memiliki nilai SPF 9 sehingga termasuk dalam proteksi maksimum. Besarnya nilai SPF menunjukkan kemampuan ekstrak sebagai tabir surya untuk melindungi kulit dari sinar Ultraviolet.
 Menurut Cumpelik (1972) suatu sediaan tabir surya disebut sebagai sunblock apabila nilai persentase transmisi eritema <1% dan nilai persentase transmisi pigmentasi 3-40%. Sediaan tabir surya disebut sunscreen apabila nilai persentase transmisi eritema 6-18% dan nilai persentase transmisi pigmentasi 45-86%. Suatu sampel dikatakan memiliki nilai Sun Protection Factor (SPF) atau faktor proteksi cahaya dengan tipe proteksi minimal apabila nilai SPF 2-4, proteksi sedang apabila nila SPF 4-6, proteksi ekstra 6-8, proteksi maksimal dengan nilai SPF 8-15 dan proteksi ultra >15.
IV.3 Evaluasi Sediaan Krim Ekstak Etanol Temulawak
a.    Organoleptis dan homogenitas
Pemeriksaan terhadap  organoleptis dimaksudkan untuk melihat tampilan fisik suatu sediaan yang meliputi bentuk, bau dan warna.
Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Organoleptis
Formula
Sebelum accelerate
Sesudah accelerate
F1
Setengah padat,
Bau khas lanolin,
Warna putih
Setengah padat,
Bau khas lanolin,
Warna putih
F2
Setengah padat,
Bau khas lanolin,
Warna putih tulang
Setengah padat,
Bau khas lanolin,
Warna putih tulang
F3
Setengah padat,
Bau khas lanolin,
Warna kekuningan
Setengah padat,
Bau khas lanolin, Warna kekuningan
Keterangan :
F1        : Formula krim dengan konsentrasi 62,5 ppm
F2        : Formula krim dengan konsentrasi 312,5 ppm
F3        : Formula krim dengan konsentrasi 625 ppm

Hasil penelitian pada tabel 6 menunjukkan bahwa ketiga formula (F1, F2 dan F3) krim tidak mengalami perubahan bau dan warna setelah uji accelerate. Warna yang dihasilkan adalah warna putih, putih tulang sampai putih kekuningan. Warna yang dihasilkan krim ekstrak etanol temulawak tergantung dari konsentrasi krim yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak warna krim menjadi semakin kuning.
Tabel 7. Hasil Pengujian Homogenitas

Formula
Sebelum accelerate
Sesudah accelerate
F1
Homogen
Homogen
F2
Homogen
Homogen
F3
Homogen
Homogen
Keterangan :
F1        : Formula krim dengan konsentrasi 62,5 ppm
F2        : Formula krim dengan konsentrasi 312,5 ppm
F3        : Formula krim dengan konsentrasi 625 ppm

Pengujian homogenitas merupakan faktor penting dari salah satu pengukuran dari kualitas sediaan karena suatu sediaan dapat memberikan efek yang baik karena zat aktif  yang digunakan beupa ekstrak yang harus terdistribusi secara merata dalam pembawanya. Ketika suatu sediaan tidak terdistribusi secara merata maka akan berpengaruh pada dosis dari sediaan tersebut (Ditjen POM, 1985).
Hasil uji homogenitas pada tabel 7 menunjukkan hasil yang homogeny serta tidak terdapat butiran kasar baik sebelum dan setelah accelerate. Hal ini kemungkinan karena ekstrak etanol temulawak mudah bercampur dengan basis M/A sehingga tidak terjadi penggumpalan atau pemisahan fase yang terlihat pada fase luar.
b.      Pemeriksaan pH krim
Salah satu parameter sifat fisika dan kimia yang harus dilakukan pada sediaan semisolid atau topikal adalah pengujian pH. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah nilai pH sediaan yang dibuat memiliki nilai pH dengan rentang nilai yang aman bagi kulit. Hasil pemeriksaan pH krim dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Hasil Pemeriksaan pH
Formula
Sebelum accelerate
Sesudah accelerate
F1
7,6
6,7
F2
7,4
6,2
F3
7,7
6,8
Keterangan :
F1        : Formula krim dengan konsentrasi 62,5 ppm
F2        : Formula krim dengan konsentrasi 312,5 ppm
F3        : Formula krim dengan konsentrasi 625 ppm
Hasil pada tabel 8 menunjukkan adanya perubahan pH sebelum dan setelah accelerate dimana pH krim setelah accelerate mengalami penurunan tetapi masih berada dalam kisaran pH krim tabir surya yang sesuai menurut SNI 16-4399-1996 yaitu 4,5-8. pH yang rendah atau asam dapat mengiritasi kulit, dan sebaliknya jika pH sediaan terlalu tinggi akan mengakibatkan kulit menjadi kering saat penggunaan (Ainaro dkk, 2015). Hal ini dipengaruhi oleh bahan yang memiliki sifat basa, dalam hal ini khususnya pada formula yang mempengaruhi adalah trietanolamin yang memiliki pH 10,5 (Rowe, dkk, 2009). Pada penyimpanan suhu yang berbeda-beda juga akan terjadi perubahan pH pada sediaan krim.  Penurunan pH yang terjadi tidak melebihi batas standar suatu sediaan krim sehingga saat penggunaan krim tidak akan menimbulkan iritasi pada kulit.

c.    Uji viskositas
Kekentalan atau viskositas sediaan termasuk salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan sediaan krim karena bila krim terlalu kental maka susah untuk diaplikasikan. Pengukuran dilakukan sebelum accelerate (penyimpanan dipercepat) dan setelah accelerate. Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Hasil pemeriksaan viskositas
Formula
Uji Viskositas (cps)
Sebelum accelerate
Setelah accelerate
F1
22.830
19.500
F2
21.080
17.800
F3
18.166
17.300
Keterangan :
F1        : Formula krim dengan konsentrasi 62,5 ppm
F2        : Formula krim dengan konsentrasi 312,5 ppm
F3        : Formula krim dengan konsentrasi 625 ppm
Gambar 3. Diagram perubahan viskositas krim

Hasil pemeriksaan viskositas pada tabel 9 menunjukkan bahwa viskositas setelah accelerate mengalami penurunan. Penurunan viskositas krim kemungkinan dapat disebabkan karena perubahan suhu selama proses accelerate. Viskositas suatu sediaan berpengaruh pada luas penyebarannya. Semakin rendah viskositas suatu sediaan maka penyebarannya akan semakin besar sehingga kontak antara zat aktif dan kulit semakin luas dan absorbsi zat aktif ke kulit akan semakin cepat (Maulidaniar dkk, 2011)
d.    Daya Sebar
Pemeriksaan daya sebar dilakukan untuk mengetahui kemampuan krim menyebar pada permukaan kulit ketika diaplikasikan. Kemampuan penyebaran krim yang baik akan memberikan kemudahan pengaplikasian pada kulit. Selain itu penyebaran bahan aktif pada kulit lebih merata sehingga efek yang ditimbulkan bahan aktif menjadi lebih optimal. Hasil pemeriksaan daya sebar dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. Hasil pemeriksaan daya sebar
Formula
Uji Daya Sebar
Sebelum accelerate
Setelah accelerate
F1
5,1
5,2
F2
5,2
5,3
F3
5,5
5,7
Keterangan :
F1        : Formula krim dengan konsentrasi 62,5 ppm
F2        : Formula krim dengan konsentrasi 312,5 ppm
F3        : Formula krim dengan konsentrasi 625 ppm

Pada tabel 10 menunjukkan hasil pemeriksaan daya sebar krim ekstrak etanol temulawak memenuhi syarat yaitu berkisar antara 5-7 cm (Garg, A., dkk.2002). Pada pemeriksaan daya sebar setelah accelerate menunjukkan peningkatan daya sebar namun masih memenuhi persyaratan.
e.    Uji Daya Lekat
Daya lekat berhubungan dengan lamanya kontak antara krim dengan kulit dan kenyamanan penggunaannya. Krim yang baik mampu menjamin waktu kontak yang efektif dengan kulit sehingga tujuan tercapai (Betageri dan Prabhu, 2002). Hasil pemeriksaan daya lekat pada sediaan krim dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. Hasil pemeriksaan daya lekat
Formula
Uji Daya Lekat
Sebelum accelerate
Setelah accelerate
F1
0,38 detik
0,36 detik
F2
0,40 detik
0,39 detik
F3
0,49 detik
0,41 detik
Keterangan :
F1        : Formula krim dengan konsentrasi 62,5 ppm
F2        : Formula krim dengan konsentrasi 312,5 ppm
F3        : Formula krim dengan konsentrasi 625 ppm
Hasil uji daya lekat dapat dilihat pada tabel 11 menunjukkan bahwa kekuatan melekat krim sebelum dan setelah accelerate mengalami perubahan. Ketiga sediaan mengalami penurunan waktu setelah accelerate.
f.     Pemeriksaan Tipe Krim
Tabel 12. Hasil pemeriksaan tipe krim
Formula
Uji Tipe emulsi
Sebelum accelerate
Setelah accelerate
F1
M/A
M/A
F2
M/A
M/A
F3
M/A
M/A
Keterangan :
F1        : Formula krim dengan konsentrasi 62,5 ppm
F2        : Formula krim dengan konsentrasi 312,5 ppm
F3        : Formula krim dengan konsentrasi 625 ppm
          Pada tabel 12 menunjukkan bahwa ketiga formula tersebut memiliki tipe krim M/A dan tidak terjadi perubahan sebelum dan sesudah accelerate. Hal ini disebabkan karena volume fase terdispersi (fase minyak) yang digunakan dalam krim lebih kecil dari fase pendispersi (fase air). Uji disperse menunjukkan bahwa metilen blue dapat larut dan tersebar merata dalam krim (Nonci, dkk, 2016).
 IV.4 Penentuan Aktivitas Tabir Surya Krim Ekstrak Etanol Temulawak
Pengukuran potensi tabir surya krim ekstrak etanol temulawak dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 290-320 nm. Hasil pengukuran aktivitas tabir surya krim ekstrak etanol temulawak dapat dilihat pada tabel 13.
Tabel 13. Hasil Pengukuran Aktivitas Tabir Surya Krim Ekstrak Etanol Temulawak

Formula
% Transmisi eritema
% Transmisi pigmentasi
Kategori
Nilai SPF
Kategori
F1
30
70
-
4
proteksi sedang
F2
8
50
sunscreen
10
proteksi maksimum
F3
0,5
23
sunblock
24
proteksi ultra
Keterangan :
F1        : Formula krim dengan konsentrasi 62,5 ppm
F2        : Formula krim dengan konsentrasi 312,5 ppm
F3        : Formula krim dengan konsentrasi 625 ppm

Pada hasil pengukuran pada tabel 13 Formula 2 menunjukkan nilai persentase transmisi eritema sebesar 8% dan persentase transmisi pigmentasi sebesar 50% sehingga termasuk dalam kategori sunscreen yang mampu menghambat sinar UV A dan UV B (Cumpelik, 1972). Pada hasil pengukuran SPF terlihat bahwa krim ekstrak etanol temulawak pada formula 2 menunjukkan nilai SPF 10 sehingga termasuk dalam proteksi maksimum. Nilai SPF menunjukkan kemampuan sediaan krim dalam melindungi kulit dari sinar ultraviolet. Angka SPF adalah penentu seberapa lama kulit berada di bawah sinar matahari tanpa terbakar selama memakai produk tersebut. Jadi, jika biasanya kulit membutuhkan waktu sekitar 10 menit sampai kulit mulai terbakar matahari tanpa dilindungi apapun, dan ketika menggunakan SPF 10, produk tersebut akan memperpanjang waktu hingga 10 kali lipat lebih lama sebelum terbakar.

BAB V
PENUTUP
V.1  Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa :
1.     Ekstrak temulawak dan krim ekstrak temulawak memiliki potensi sebagai tabir surya untuk menghambat sinar UV A dan UV B
2.     SPF Ekstrak temulawak dengan konsentrasi 62,5 ppm sebagai sunscreen memiliki nilai persentase transmisi eritema sebesar 9%, nilai persentase transmisi pigmentasi sebesar 53% dan nilai SPF 9. Krim ekstrak temulawak dengan kategori sunscreen pada formula 2 memiliki nilai persentase transmisi eritema sebesar 8%, nilai persentase transmisi pigmentasi sebesar 50% dan memiliki nilai SPF 10.
3.     Krim ekstrak temulawak stabil sebelum dan sesudah accelerate.
V.2      Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, perlu dilakukan uji iritasi terhadap sediaan krim tabir surya ekstrak temulawak dalam menghambat sinar UV A dan UV B


DAFTAR PUSTAKA
Charisma, S. L. 2012. Daya Tabir Surya dan Antioksidan Formula Krim Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) dan Rimpang Temu Kunci (Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schlecht). Universitas Muhammadiyah : Purwokerto.
Cumpelik, B.M., 1972, Analytical Procedures and Evaluation of Sunscreen, Journal of The Society of Cosmetic Chemists, 23(6), 333-345.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1985. Formularium Kosmetika Indonesia (Cetakan I). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia Ed III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia ed IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.
Fatmawaty A, michrun N, Radhia R. 2012. Teknologi Sediaan Farmasi. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar. Makassar : 358
Finnen, M.J., Skin Metabolism by Oxidation and Conjugation, J. Pharmacol. Skin, 1, 130-131
Fisher, GJ, Wang, ZQ, Datta, SC, Varani, J, Kang S & Voorhees, JJ. 1997, Pathophysiology of premature skin aging induced by ultraviolet light. N Engl J Med, vol. 337, pp. 1419-28
Gibson, John. 2002. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat (Sugiarto, Bertha, penerjemah). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 479.
Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Terbitan Kedua. ITB. Bandung, 123-129.
Hayani, EM. 2006. Analisis kandungan Kimia Rimpang Temulawak. Balai Penelitlan Tanaman Rempah Dan Obat Bogor.
Hernani dan Raharjo, M., 2005. Tanaman Berkhasiat Antioksidan, Cetakan I, Penebar Swadaya, Jakarta, Hal 3, 9, 11, 16-17.
Inayatullah, MS, 1997. Standarisasi Rimpang Kencur dengan Parameter Etil Para Metoksi Sinamat dan Asam Para Metoksi Sinamat, Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Jani, 1993. Uji Aktivitas Tabir Matahari Senyawa Etil para metoksi transsinamat dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga, L.) Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Surabaya, Surabaya.
Jantan, Ibrahim., Fadlina, C.S., Muhammad N.Q., and Fhataheya B. 2012. Correlation between Chemical Composition of Curcuma domestica and Curcuma xanthorrhiza and Their Antioxidant Effect on Human Low-Density Lipoprotein Oxidation. Hindawi Publishing Corporation Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine Volume 2012/ 438356.
Karim, A.A et al, 2014. Phenolic Composition, Antioxidant, Anti-Wrinkles and tyrosinase inhibitory activities of cocoa pod extract. BEM omplementary & Alternative Medicine.  Malaysia.
Keithler, WM.R., 1956. The Formulation of Cosmetics and Cosmetic Specialties, Drug and Cosmetic Industry: New York
Kibbe A.H. 2000. Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 3rd ed, American Pharmaceutical Association and Pharmaceutical Press : London.
Malsawmtluangi C, Nath DK, Jamatia I, Lianhimgthangi, Zarzoliana E, Pachuau L. 2013. Determination of Sun Protection Factor (SPF) number of some aqueous herbal extracts. Journals of Applaied Pharmaceutical Science 3(09): 150-151.
Mansur JS, et al. 1986. Determination of Sun Protection Factor for Spectrophotometry. An Bras Deramtol. ; 61:121-124.
Oroh, E. &Harun, E.S., 2001, Tabir Surya (Sunscreen),Berkala Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin, 13(1),1.
Pandji, C., C. Grimm, V. Wray, L. Witte, and P. Proksch. 1993. Insecticidal constituents from four species of the Zingiberaceae. Phytochemistry. 34(2) : 415-419
Rowe, R.C.,P.J, Sheskey, S.O. Owen. 2009. Handbook Of Pharmaceutical Excipients 6th ed. Pharmaceutical Press : London.
Sayre RM, et al. Comparison of in vivo and in vitro Testing of Sunscreening Formulas. Photochem Photobiol. 1979; 29:559-566. Isoamil P-Metoksisinamat Melalui Reaksi Transesterifikasi Dari Etil P-Metoksisinamat Hasil Isolasi Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.). Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa ISBN : 978-979-028-103-5  Fakultas MIPA UNESA Jurusan Farmasi, UNAIR Surabaya : Surabaya
Sharma S. 2008. Topical drug delivery system: A review. Pharmaceut. Rev;6:1-29
Tranggono. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengantar Kosmetik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tuchinda C, Srivannaboon S, Lim WH. 2006. Photoprotection by window glass, automobile glass and sunglasses. J Am Acad Dermatol.;54:845–54.
Wasiatmadja dan Syarif. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: UI Press, 3-8.
Wijayakusuma M. 2007. Penyembuhan dengan temulawak. Jakarta: Sarana Pustaka Prima : 23-7.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar