FITOKIMIA LANJUTAN
ISOLASI
SENYAWA BIOAKTIF DAN UJI ANTIOKSIDAN EKSTRAK ETANOL DAUN BENALU MANGGA (Dendropthoe petandra L.) DENGAN METODE
DPPH
OLEH:
KELOMPOK 3
TRANSFER
A 2016
MuhIndra Sudirja (15.01.381)
Widya Murni Panna (16.01.238)
Mersy Adriana (16.01.248)
Khusnia Mardiatin (16.01.263)
Kristina Tawakali (16.01.241)
Cholid Hamdani (16.01.252)
Henny Boro Tandibua (16.01.214)
Dewanti Fatmala Kadji. (16.01.239)
Irbiyanti (16.01.213)
FadillahRamadhani (16.01.209)
Indar Dewi (16.01.257)
ASISTEN : YURI PRATIWI UTAMI,
S.Farm.,M.Si.,Apt.
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
MAKASSAR
2017
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia
merupakan salah satu Negara
tropis yang terkenal dengan
keanekaragaman tanamannya yang dapat digunakan sebagai obat. Bagian tanaman
yang dapat digunakan sebagai obat bisa berupa
daun, batang, buah, bunga dan akar.
Buah-buahan merupakan salah
satu sumber makanan yang kaya akan berbagai macam vitamin, mineral dan zat-zat gizi
yang bermanfaat bagi tubuh.
Kemajuan teknologi dan ilmu
pengetahuan modern yang semakin pesat dan canggih di zaman sekarang ini,
ternyata tidak mampu menggeser atau mengesampingkan begitu saja obat tradisional,
tetapi justru hidup berdampingan dan saling
melengkapi. Hal ini terbukti dari banyaknya peminat pengobatan tradisional. Namun
yang menjadi masalah dan kesulitan bagi para peminat obat tradisional adalah kurangnya
pengetahuan dan informasi yang memadai mengenai
berbagai jenis tumbuhan yang dipakai sebagai obat tradisional untuk pengobatan penyakit
tertentu.
Alam merupakan sumber agen
terapetik yang berpotensial menghasilkan berbagai macam produk alami. Banyak produk
alami, termasuk obat modern dihasilkan dari bahan alam, seperti tanaman,
mikrobia, dan hewan. Beberapa contoh obat yang bahan dasarnya berasal dari bahan
alami, antara lain obat anti-kanker Vinkristin dari Vincarosea, analgesic
morfindari Papaversomniferum, obat anti malaria lartemisinin dari Artemisia
annua, obat anti-kanker Taxol® dari Taxusbrevifolia, dan antibiotika
penisilin berasal dari Penicillium ssp. Di beberapa Negara berkembang,
produk-produk alami telah menjadi sumber obat dan penuntun obat. Salah satu tanaman Indonesia yang pada
tahun-tahun belakangan ini menjadi pusat perhatian para peneliti untuk dijadikan
obat alam adalah benalu.
Tanaman benalu selama ini telah
digunakan sebagai tanaman obat, seperti obat batuk, kanker, diuretik, dan pengobatan
setelah melahirkan.
Bagian dari benalu yang
berkhasiat sebagai tanaman obat adalah bagian daun benalu, seperti pada benalu teh,
mangga, dan duku (Indrawati,1999).
Secara empiris masyarakat banyak menggunakan daun benalu sebagai obat
kanker serviks yaitu dengan cara merebus beberapa lembar daun benalu lalu
meminumnya dengan jangka waktu tertentu. Dengan tujuan untuk menghambat
pertumbuhan sel kanker tersebut.
Potensi benalu sebagai tanaman
obat apabila terus dikembangkan maka akan menghasilkan manfaat yang besar,
yaitu mengurangi biaya pengobatan sekaligus meningkatkan devisa Negara (Artantiet
al., 2006). Hal ini dikarenakan kandungan senyawa yang terdapat
didalamnya seperti antioksidan yang berperan sebagai penangkal radikal bebas.
Antioksidan adalah senyawa yang mampu mengurangi terbentuknya radikal bebas
serta dapat membantu melindungi sel dari kerusakan akibat paparan radikal bebas
(Wibowo, T, A, A. 2009) Berdasarkanatasinformasitersebutdanuntukmenunjangsertamelengkapiinformasi
yang bermanfaat mengenai tanaman obat benalu, maka dilakukan praktikum
lanjutan fitokimia yang
berhubungan dengan tanaman benalu.
I.2 Maksuddan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
1. Untuk mengetahui dan
memahami cara isolasi senyawa bioaktif dari ekstrak daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.).
2. untuk mengetahui dan
memahami cara pengujian antioksidan dengan metode DPPH.
I.2.2 Tujuan Percobaan
1. Untuk mendapatkan isolat senyawa
bioaktif dari ekstrak daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.).
2. untuk mendapatkan nilai
aktivitas antioksidan ekstrak daun benalu mangga (Dendrophthoe
pentandra L.) dengan metode DPPH yang dinyatakan dengan IC50.
Prinsip metode uji antioksidan DPPH
dinyatakan pada reaksi penangkapan atom hidrogen oleh DPPH (reduksi DPPH) dari
senyawa oksidan. Reagen DPPH berperan sebagai radikal bebas yang terkandung
dalam sampel, selanjutnya DPPH akan tereduksi menjadi senyawa diphenyl picyl
hydrazine (DPPH.H). reduksi DPPH menjadi DPPH.H menyebabkan perubahan warna
pada reagen DPPH dari ungu menjadi kuning.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Uraian Tanaman
II.1.1
Klasifikasi Tumbuhan
Regnum : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Famili : Loranthaceae
Genus : Dendrophthoe
Spesies : (Dendrophthoe pentandra L.) (Widyaningrum, 2011).
II.2.2
Deskripsi Tumbuhan Daun Benalu
Gambar.1 Tumbuhan Benalu
Benalu merupakan tumbuhan parasit yang
menempel pada pohon lain sebagai inang. Tumbuh dari dataran rendah menengah
sampai pegunungan dari ketinggian 800m sampai 2.300m di atas permukaan laut.
Berbunga pada bulan Juni-September. Waktu panen yang tepat adalah pada bulan
April-Mei. Habitus: Terna, parasite, menahun, tinggi 30-60 cm. Batang: bulat,
percabangan banyak, kasar, hijau kecoklatan. Daun: tunggal, tersebar, bentuk
lonjong, asimetris, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, panjang, panjang 5-10
cm, lebar 3-8 cm, pertulangan sejajar, permukaan sedikit kasar, warna hijau.
Bunga: majemuk, bentuk tandan, terletak di ketiak daun, bunga sempurna, kelopak
bentuk bunga, panjang 2-3 mm, hijau, dasar mahkota bentuk tabung, ujung
berlepasan, panjang 2-3 cm, putih. Buah: kotak, bulat, berlekuk 3, diameter 1-2
cm, permukaan kasar, hijau. Biji: bentuk bulat, keras, diameter 5-8 mm, warna
coklat. Akar: serabut, berwana kuning kecoklatan.
II.2.3
Manfaat
Anti
radang, anti bakteri/antioksidan, anti bengkak.
II.2.4
Kandungan Kimia
Flavonoid, tanin, alkaloid, polifenol,
saponin, terpenoid dan steroid (Widyaningrum,H. 2011).
II.2
Simplisia
Simplisia adalah bentuk
jamak dari kata simpleks yang berasal dari kata simple berarti satu ataau
sederhana. Istilah simplisia dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang
masih berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk (Gunawan
dan Mulyani, 2004). Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat
yang belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan (Dirjen POM, 1979).
Simplisia dibagi menjadi tiga golongan, yaitu
simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral (Gunawan dan Mulyani,
2004):
II.3.1 Simplisia
nabati
Simplisia
nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman, eksudat
tanaman atau golongan antara ketiganya. Eksudat tanaman adalah isi sel yang
secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu sengaja
dikeluarkan dari selnya.
II.3.2 Simplisia
hewani
Simplisia
hewani adalah simplisia berupa hewan utuh atau zat-zat berguna yang dihasilkan
oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni. Contohnya minyak ikan dan madu.
II.3.3 Simplisia
mineral
Simplisia
mineral adalah simplisia berupa bahan mineral yang belum diolah atau telah
diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni. contohnya
serbuk seng dan serbuk tembaga.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas
simplisia yaitu faktor bahan baku dan proses pembuatannya (Gunawan dan Mulyani,
2004).
a.
Bahan baku simplisia
Berdasarkan
bahan bakunya simplisia bisa diperoleh dari tanaman liar dan atau dari tanaman
yang dibudidayakan. Jika simplisia diambil dari tanaman budidaya makan
keseragaman umur, masa panen, dan galur (asal-usul, garis keturunan) tanaman
dapat dipantau. Semnetara jika diambil dari tanaman maka banyak kendala dan
variabilitas yang tidak bisa dikendalikan seperti asal tanaman, umur dan tempat
tumbuh.
b.
Proses pembuatan simplisia
Dasar
pembuatan simplisia meliputi beberapa tahapan. Adapun tahapan tersebut dimulai
dari pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, pengubahan bentuk,
pengeringan, sortasi kering, pengepakan, dan penyimpanan.
1. Pengumpulan
bahan baku
a. Biji;
pengambilan biji dapat dilakukan pada saat mulai mengeringnya buah/sebelum
semuanya pecah.
b. Buah;
pengambilan buah tergantung tujuan dan pemanfaatan kandungan aktifnya. Panen
buah bisa dilakukan saat menjelang masak (misalnya Piper ningrum), setelah benar-benar masak (misalnya adas), atau
dengan cara melihat perubahan warna/bentuk dari buah yang bersangkutan
(misalnya jeruk, asam, dan papaya).
c. Bunga;
pemanenan bunga tergantung dari tujuan pemanfaatan kandungan aktifnya. Panen
dapat dilakukan pada saat menjelang penyerbukan, saat bungan masih kuncup
(seperti pada Jasminum sambac,
melati) atau saat bunga sudah mulai mekar (misalnya Rosa sinesis, mawar).
d. Daun
atau herba; panen daun atau herba dilakukan pada saat proses fotosintesis
berlangsung maksimal, yaitu ditandai dengan saat-saat tanaman mulai berbunga
atau buah mulai masak. Untuk pengambilan pucuk daun, dianjurkan dipungut pada
saat warna pucuk daun berubah menjadi daun tua.
e. Kulit
batang; pemanenan kulit batang hanya dilakukan pada tanaman yang sudah cukup
umur. Saat panen yang paling baik adalah awal musim kemarau.
f. Umbi
lapis; panen umbi dilakukan pada saat akhir pertumbuhan.
g. Rimpang;
panen rimpang dilakukan pada saat awal musim kemarau.
h. Akar;
panen akar dilakukan pada saat proses pertumbuhan berhenti atau tanaman sudah
cukup umur. Panen yang dilakukan terhadap akar umumnya akan mematikan tanaman
yang bersangkutan.
2. Sortasi
basah
Sortasi
basah adalah pemilahan hasil panen ketika tanaman masih segar.
Sortasi dilakukan
terhadap:
a. Tanah
dan kerikil
b. Rumput-rumputan
c. Bahan
tanaman lain atau bagian lain dari tanaman yang tidak digunakan, dan
d. Bagian
tanaman yang rusak (dimakan ulat dan sebagainya).
3. Pencucian
Pencucian
simplisia dilakukan untuk membersihkan kotoran yang melekat terutama
bahan-bahan yang berasal dari dalam tanah dan juga bahan-bahan yang tercemar
pestisida.
4. Pengubahan
bentuk
Pada
dasarnya tujuan pengubahan simplisia adalah untuk memperluas permukaan bahan
baku. Semakin luas permukaan maka bahan baku akan cepat kering. Proses
pengubahan meliputi beberapa perlakuan berikut:
a. Perajangan
untuk rimpang, daun dan herba
b. Pengupasan
untuk buah, kayu, kulit kayu, dan biji-bijian yang ukurannya besar.
c. Pemiprilan
khusus untuk jagung, yaitu dipisahkan biji dari bonggolnya.
d. Pemotongan
untuk akar, batang, kayu, kulit kayu dan ranting
e. Penyerutan
untuk kayu
5. Pengeringan
Tujuan
pengeringan adalah sebagai berikut:
a. Menurunkan
kadar air sehingga bahan tersebut tidak mudah ditumbuhi bakteri.
b. Menghilangkan
aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif.
c. Memudahkan
dalam pengelolaan proses selanjutnya (mudah disimpan, tahan lama).
Faktor
yang mempengaruhi pengeringan:
a. Waktu
pengeringan; semakin lama dikeringkan akan semakin kering bahan tersebut.
b. Suhu
pengeringan, semakin tinggi suhunya semakin cepat kering, tetapi harus
dipertimbangkan daya tahan kandungan zat aktif didalam sel yang kebanyakan
tidak tahan panas.
c. Kelembapan
udara disekitarnya dan kelembapan bahan atau kandungan air dari bahan.
d. Ketebalan
bahan yang dikeringkan
e. Sirkulasi
udara
f.
Luas permukaan bahan,
semakin luas permukaan bahan semakin mudah kering.
Cara pengeringan bahan-bahan tertentu:
a.
Untuk tanaman rendah,
misalnya lumut, jamur, thallus, agar-agar dan rerumputan laut dikeringkan
dengan cara dijemur dibawah sinar matahari, setelah kering disimpan dalam kantung kedap udara.
b. Untuk
bahan berupa akar, pengeringan dilakukan dengan cara dirajang atau
dipotong-potong pendek, kemudian dijemur langsung dibawah sinar matahari. Oleh
karena akar termasuk bahan keras maka sebaiknya di jemur dibawah matahari
langsung.
c. Untuk
bahan berupa buah seperti jeruk bisa dibelah terlebih dahulu, baru dijemur.
d. Untuk
bahan berupa bunga hanya diangin-anginkan ditempat yang teduh atau jika
menggunakan oven maka suhu diatur rendah sekitar 25-350C.
e. Untuk
bahan berupa kulit batang umumnya dibelah terlebih dahulu, diserut atau dipecah
kemudian dijemur dibawah sinar matahari langsung.
f. Untuk
bahan berupa rimpang harus dirajang terlebih dahulu untuk memperluas permukaan
tetapi tidak dijemur dibawah matahri langsung (ditutup kain hitam). Tujuannya
untuk menghindari penguapan yang terlalu cepat yang dapat berakibat menurunkan
mutu minyak atsiri di dalam bahan. Penjemuran tidak langsung bertujuan untuk
menghindari kontak langsung dengan pancaran gelombang ultraviolet.
g. Bahan-bahan
eksudat seperti getah (opium), daging daun lidah buaya, dan biji jarak yang
akan diambil minyak lemaknya tidak perlu dilakukan proses pengeringan.
h. Untuk
bahan berupa daun atau bunga yang akan diambil minyak atsirinya maka cara
pengeringan yang dianjurkan adalah menghindari penguapan terlalu cepat dan
proses oksidasi udara.
6. Sortasi
kering
Sortas
kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami proses pengeringan. Pemilihan
dilakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu gosong, bahan yang rusak akibat
terlindas roda kendaraan (misalnya dikeringkan ditepi jalan raya), atau
dibersihkan dari kotoran hewan.
7.
Pengepakan dan penyimpanan
Setelah
tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka simplisia perlu ditempatkan
daalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara simplisia satu
dengan yang lainnnya. Selanjutnya, wadah yang berisi simplisia disimpan dalam
rak pada gudaang penyimpanan.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi pengepakan dan penyimpanan simplisia adalah sebagai berikut
(Gunawan dan Mulyani, 2004):
a. Cahaya
b. Oksigen
atau sirkulasi udara
c. Reaksi
kimia
d. Penyerapan
air
e. kemungkinan
terjadinya proses dehidrasi
f.
pengotoran atau pencemaran
Persyaratan
wadah untuk pemungkus simplisia (Gunawan dan Mulyani, 2004):
a. harus
inert, artinya tidak mudah bereaksi
dengan bahan lain
b. tidak
beracun bagi bahan yang diwadahinya maupun bagi manusia
c. mampu
melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, dan serangga.
d. Mampu
melindungi bahan simplisia dari penguapan kandungan aktif.
e.
Mampu melindungi simplisia
dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air.
II.3 Ekstraksi dan Partisi
II.3.1 Ekstraksi
Ekstraksiadalahpenyarianzat-zataktifdaribagiantanamanobat. Proses
pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif,
zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat
akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi
keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel
(Harborne,1987).
Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia
yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen
zat padat kedalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka,
kemudian berdifusi masuk kedalam pelarut (Harborne,1987).
Untuk
mendapatkan senyawa murni biasanya menggunakan beberapa teknik ekstraksi Ada
beberapa metode ekstraksi sampel bahan alam,antara lain (Atun, 2014):
1. Maserasi
Maserasi
merupakan teknik ekstraksi dari sampel padat menggunakan pelarut tertentu
biasanya digunakan metanol atau etanol. Metanol memiliki kelebihan memiliki
titik didih yang lebih rendah sehingga mudah diuapkan pada suhu yang lebih
rendah, tetapi bersifat lebih toksik. Sedangkan etanol memiliki kelemahan
memiliki titik didih yang relative tinggi sehingga lebih sulit diuapkan, tetapi
relatif tidak toksik dibanding metanol.
Proses maserasi dilakukan selama waktu
tertentu dengan sesekali diaduk, biasanya dibutuhkan waktu 1-6 hari. Selain
methanol atau etanol pelarut yang lain yang biasa digunakan antaralain aseton,
klroform, atau sesuai dengan kebutuhan. Setelah waktu tertentu ekstrak yang
disebut maserat dipisahkan dengan cara penyaringan.
Maserasi biasanya dilakukan pengulangan
dengan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat yang pertama
yang disebut remaserasi. Remaserasi biasanya dilakukan tiga kali atau sampai
senyawa yang diinginkan dalam sampel benar-benar sudah habis. Apabila dalam proses
maserasi dilakukan pengadukan terus menerus maka disebut juga dengan maserasi
kinetik. Sedangkan apabila dalam maserasi kinetik tersebut dilakukan di atas
suhu kamar, biasanya 40-50 oC disebut digesti. Cara yang biasa dilakukan adalah
dengan menempatkan sejumlah bahan ditempatkan pada wadah tertutup, ditambah
dengan pelarut dengan perbandingan kira-kira 1:7, atau sedikitnya semua sampel
tercelup. Diamkan selama 1-6 hari pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya
dengan sesekali diaduk. Setelah itu, cairan dipisahkan, buang bagian yang
mengendap. Pada saat proses perendaman senyawa organik yang terkandung dalam
sampel berdifusi melewati dinding sel untuk melarutkan konstituen dalam sel dan
juga memacu larutan dalam sel untuk berdifusi keluar. Sistem yang digunakan
dalam metode ini adalah sistem statis, kecuali saat digojog, proses ekstraksi
berjalan dengan difusi molekuler, sehingga proses ini berlangsung secara
perlahan. Setelah ekstraksi selesai, residu dari sampel harus dipisahkan dengan
pelarut dengan didekantir atau disaring. Maserasi dengan pengulangan saja, hal
ini terjadi karena ada kemungkinan sejumlah besar komponen aktif masih
tertinggal dalam proses hasil pengulangan maserasi selanjutnya dicampur dan
dipekatkan.
2. Infusdasi
Infusdasi merupakan
metode ekstraksi dengan pelarut air. Pada waktu proses infusdasi berlangsung,
temperatur pelarut air harus mencapai suhu 90ºC selama 15 menit. Rasio berat
bahan dan air adalah 1 : 10, artinya jika berat bahan 100 gr maka volume air
sebagai pelarut adalah 1000 ml. Cara yang biasa dilakukan adalah serbuk bahan
dipanaskan dalam panci dengan air secukupnya selama 15 menit terhitung mulai
suhu mencapai 90ºC sambil sekali- tambahkan air panas secukupnya melalui ampas
hingga diperoleh volume yang diinginkan. Apabila bahan mengandung minyak
atsiri, penyaringan dilakukan setelah dingin.
3. Dekokta
Dekoksi merupakan proses ekstraksi yang mirip dengan
proses infusdasi, hanya saja infus yang dibuat suhu pelarut sama dengan titik
didih air. Caranya, serbuk bahan ditambah air dengan rasio 1:10, panaskan dalam
panci enamel atau panci stainless steel selama 30menit. Bahan sesekali sambil
diaduk. Saring panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume yang
diinginkan.
4. Perkolasi
Perkolasi adalah
proses ekstraksi dengan pelarut yang dialirkan melalui kolom perkolator yang
diisi dengan serbuk bahan atau sampel, dan ekstraknya dikeluarkan melalui keran
secara perlahan. Secara umum proses perkolasi ini dilakukan pada temperature
ruang. Parameter berhentinya penambahan pelarut adalah perkolat sudah tidak
mengandung komponen ekstraksi bahan alam terlihat tetesan perkolat sudah tidak
berwarna. Caranya, serbuk bahan dibasahi dengan pelarut yang sesuai dan
ditempatkan pada bejana perkolator. Bagian bawah bejana diberi sekat berpori
untuk menahan serbuk. Cairan pelarut dialirkan dari atas kebawah melalui serbuk
tersebut. Cairan pelarut akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel yang dilalui
sampai keadaan jenuh.
5. Soxkletasi
Soxkletasi merupakan
proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya
dilakukan dengan alat khusus soxklet sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan
adanya pendingin balik. Caranya, serbuk bahan ditempatkan pada selongsong
dengan pembungkus kertas saring, lalu ditempatkan pada alat soxklet yang telah
dipasang labu dibawahnya. Tambahkan pelarut sebanyak 2 kali sirkulasi. Pasang
pendingin balik, panaskan labu, ekstraksi berlangsung minimal 3 jam dengan
interval sirkulasi kira-kira 15 menit.
II.3.2
Partisi
Prinsip dari fraksinasi adalah penggabungan
senyawa berdasarkan bercak noda pada lempeng dengan pengamatan pada UV 254 nm
dan 366. Tujuan dilakukan penggabungan adalah untuk memisahkan dan memperoleh
senyawa dalam jumlah yang maksimal, di mana penggabungannya didasarkan pada
nilai Rf yang sama dan penampakan warna yang ditunjukan itu sama (Harbone,
1987).
Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan
yang bertujuan untuk memisahkan golongan utama kandungan yang satu dari
kandungan yang lain. Senyawa yang bersifat polar akan masuk ke pelarut polar
dan senyawa non polar akan masuk ke pelarut non polar (Wall, 2005).
II.4
Senyawa Metabolit Sekunder
Polisakarida,
protein, lemak dan nukleat merupakan penyusun utama dari makhluk hidup karena
itu disebut metabolit primer. Keseluruhan proses sintesis dan perombakan
zat-zat ini, yang dilakukan organism untuk kelangsungan hidupnya disebut
proses-proses metabolismprimer.Metabolism primer dari semua organism sama
meskipun berbeda genetiknya (Manitto, 1992).
Berikut ini contoh senyawa metabolit sekunder
seperti (Sirait, 2007 dan Sarker,et al.,
2007) :
1.
Minyak atsiri; baunya khas
dan dapat dipisahkan dari senyawa kimia tanaman lainnya, sukar larut dalam air
dan dapat menguap bersama uap air.
2.
Alkaloid; bersifat basa dan
membentuk garam yang larut air dengan asam-asam mineral. Kebanyakan alkaloid
adalah padat kristalin dan berasa pahit.
3.
Zat warna; zat warna yang
saat ini digunakan misalnya pewarna makanan, contohnya safran, basein dan
kuersetin.
4.
Tannin (zat samak); sifatnya
menciutkan dan mengendapkan protein dari larutan membentuk senyawa yang tidak
larut(Sirait, 2007). Polifenol-polifenol tanaman juga dikenal sebagai tannin
sayuran, merupakan sekelompok senyawa alami yang heterogen yang tersebar secara
luas dalam tanaman. Tannin sering terdapat pada buah yang tidaak masak, dan
menghilang ketika buah masak.
5.
Glikosida;senyawa-senyawa
yang menghasilkan satu atau lebih gula pada hidrolisis disebut glikosida.
6.
Resin; campuran asam
organik, ester dan alkohol yang amorf atau sukar dikristalkan, tidak larut
dalam air tapi larut dalam pelarut organik, meleleh pada suhu rendah.
II.5
Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat
menyumbangkan satu ataulebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal
bebas tersebut dapat diredam (Suhartono, 2002). Antioksidandapat membantu
melindungi tubuh manusia melawan kerusakan yang disebabkan oleh senyawa oksigen
reaktif (ROS; Reactive Oxygen Species) dan radikal bebas lainnya (L.
Wang, et.al.,2003; dalam Kurniasih, dkk, 2015). Senyawa antioksidan
diantaranya adalah asam fenolik, flavonoid, karoten, vitamin E (tokoferol),
vitamin C, asam urat, bilirubin dan albumin (Gheldof, et.al., 2002;
dalam Kurniasih, dkk, 2015). Zat-zat gizi mineral seperti mangan, seng, tembaga
dan selenium (Se) juga berperan sebagai antioksidan.
Antioksidan
memiliki fungsi utama sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya proses
oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam
makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan
stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah hilangnya
kualitas sensori dan nutrisi. Lipid peroksidasi merupakan salah satu faktor
yang cukup berperan dalam kerusakan selama dalam penyimpanan dan pengolahan
makanan (Hernani dan Raharjo, 2005 dalam Kurniasih, dkk, 2015). Antioksidan
dibagi menjadi antioksidan enzim dan vitamin. Antioksidan enzim meliputi
superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase (GSH.Prx).
Vitamin lebih dikenal sebagai antioksidan dibandingkan enzim. Antioksidan
vitamin mencakup alfa tokoferol (vitamin E), beta karoten dan asam askorbat
(vitamin C) yang banyak didapatkan dari tanaman dan hewan (Sofia, 2006; dalam Kurniasih,
dkk, 2015).
II.6
Penentuan Aktivitas Antioksidan
Penentuan aktivitas antioksidan dapat
dilakukan dengan beberapa metode yaitu Cupric Ion Reducing
AntioxidantCapacity (CUPRAC), Ferric ReducingAntioxidant Power (FRAP),
OxygenRadical Absorbance Capacity (ORAC), ABTS (TEAC) dan
1,1-Difenil-2-Pikrilhidrazil (DPPH)
a.
Metode CUPRAC
Metode CUPRAC
menggunakan bis(neokuproin) tembaga(II) (Cu(Nc)22+)sebagai
pereaksi kromogenik. Pereaksi Cu(Nc)22+ yang berwarna
biru akanmengalami reduksi menjadi Cu(Nc)2+ yang berwarna
kuning dengan reaksi(Apak et.al., 2007; dalam Kurniasih, dkk, 2015):
n
Cu(Nc)22+ + AR(OH)n n
Cu(Nc)2+ + AR(=O)n
+ n H+
b.
Metode FRAP
Metode FRAP
menggunakan Fe(TPTZ)23+ kompleks besi-ligan
2,4,6-tripiridil-triazin sebagai pereaksi. Kompleks biru Fe(TPTZ)23+
akan berfungsi sebagai zat pengoksidasi dan akan mengalami reduksi menjadi
Fe(TPTZ)22+ yang berwarna kuningdengan reaksi (Benzie
& Strain, 1996;dalamKurniasih, dkk, 2015):
Fe(TPTZ)23+
+ AR(OH) Fe(TPTZ)22+ + H+
+ AR=O
c.
Metode ORAC
Metode
ORAC menggunakan senyawa radikal peroksil yang dihasilkan melalui larutan cair
dari 2,2’-azobis-2-metil-propanimidamida. Antioksidanakan bereaksi dengan
radikal peroksil dan menghambat degradasi pendaran zat warna (Teow dkk., 2007;
dalamKurniasih, dkk, 2015). Kelebihan metode pengujian ORAC adalah kemampuannya
dalam menguji antioksidan hipofilik dan lipofilik sehingga akan menghasilkan
pengukuran lebih baik terhadap total aktivitas antioksidan. Kelemahan dari
metode ini adalah membutuhkan peralatan yang mahal dan hanya sensitif terhadap
penghambatan radikal peroksil.
d.
Metode ABTS (TEAC)
Metode
ini menggunakan prinsip inhibisi yaitu sampel ditambahkan padasistem penghasil
radikal bebas dan pengaruh inhibisi terhadap efek radikal bebas diukur untuk
menentukan total kapasitas antioksidan dari sampel (Wang dkk., 2004; dalam
Kurniasih, 2015). Metode TEAC menggunakan senyawa 2,2’-azino-bis
(3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonic acid) sebagai sumber penghasil radikal bebas.
e.
Metode DPPH
Uji
peredaman warna radikal bebas DPPH adalah untuk menentukan aktivitas
antioksidan dalam sampel dengan melihat kemampuannya dalammenangkal radikal
bebas DPPH. Sumber radikal bebas dari metode ini adalah senyawa
1,1-difenil-2-pikrilhidrazil. Prinsip pengujiannya adalah adanya donasi atom
hidrogen dari substansi yang diujikan kepada radikal DPPH menjadi senyawa non
radikal difenilpikrilhidrazin yang ditunjukkan oleh perubahan warna (Molyneux,
2004; Kurniasih, dkk, 2015).
Metode
DPPH mengukur kemampuan suatu senyawa antioksidan dalam menangkap radikal
bebas. Kemampuan penangkapan radikal berhubungan dengan kemampuan komponen
senyawa dalam menyumbangkan elektron atau hidrogen. Setiap molekul yang dapat
menyumbangkan elektron atau hidrogen akan bereaksi dan akan memudarkan DPPH.
Intensitas warna DPPH akan berubah dari ungu menjadi kuning oleh elektron yang
berasal dari senyawa antioksidan. Konsentrasi DPPH pada akhir reaksi tergantung
pada konsentrasi awal dan struktur komponen senyawa penangkap radikal (Naik dkk.,
2003 dalam Kurniasih, dkk, 2015).
Menurut
Ariyanto (2006) dalam Kurniasih, dkk, (2015) tingkatan kekuatan antioksidan
pada metode DPPH diklasifikasikan menjadi:
Tabel
1. Tingkatan Aktivitas Antioksidan
Nilai
|
Tingkatan
|
IC50
< 50 μg/mL
|
Sangat
kuat
|
IC50
50-100 μg/mL
|
Kuat
|
IC50
101-150 μg/mL
|
Sedang
|
IC50
> 150 μg/mL
|
Lemah
|
Pada Metode DPPH Aktivitas
antioksidan dari ekstrak dinyatakan dalam persen penghambatannya terhadap
radikal DPPH. Persentase penghambatan ini didapatkan dari perbedaan serapan
antara absorban DPPH dalam metanol dengan absorban sampel yang diukur dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 515 nm. Selanjutnyapersamaan
regresi yang diperoleh dari grafik hubungan antara konsentrasi sampel dengan
persen penghambatan DPPH digunakan untuk mencari nilai IC50. Besarnya aktivitas
antioksidan ditandai dengan nilai IC50, yaitu konsentrasi larutan sampel yang
dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH (Andayani dkk., 2008
Kurniasih, dkk, 2015). Metode DPPH dipilih karena pengujiannya sederhana,
mudah, cepat, peka dan hanya memerlukan sedikit sampel.
II.7
Uji toksisitas dengan Metode BSLT
Brine Shimp Lethality Test (BSLT)
merupakan salah satu metode uji toksisitas yang banyak digunakan dalam
penelusuran senyawa bioaktif yang toksik dari bahn alam. Metode ini menunjukkan
aktifasi farmakologis yang luas, tidak spesifik dan dimanifestasikan sebagai
toksisitas senyawa terhadap larva udang (Artemia
Salina Leach) (Dita, 2010).
Toksisitas
adalah efek berbahaya dari suatu bahan obat pada organ target. Uji toksisitas
dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan zat yang akan di uji. Adapun sumber
zat toksik dapat berasal dari bahan alam maupun sintesis (Dita, 2010).
Toksisitas
diukur dengan mengamati kematian pada hewan coba. Kematian hewan coba dianggap
sebagai respon dengan menggunakan kematian sebagai jawaban toksik adalah titik
awal untuk mempelajari toksisitas (Dita,
2010).
Median Lethal Dosis
(LD50) adalah
dosis dari sample yang diuji yang mematikan 50% dari hewan coba, sedangkan Median Lethal Concentration LC50 adalah
konsentrasi sampel
yang diuji yang dapat mematikan 50% dari hewan coba (Dita, 2010).
Angka
kematian dari hewan percobaan dihitung sebagai Median Lethal Dosis (LD50) atau Median
Letal Concentration (LC50). Penggunaan LC50 dimaksudkan untuk
pengujian ketoksikan dengan perlakuan terhadap hewan coba secara inhalasi atau
dengan media air (Dita, 2010).
Tingkat
toksisitas dari ekstrak tanaman dapat ditentukan dengan melihat harga LC50-nya.
Apabila harga LC50 lebih kecil dari 1000 μg/ml dikatakan toksik, sebaliknya
apabila harga LC50 lebih besar dari 1000 μg/ml dikatakan tidak toksik. Tingkat
toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai
antitumor. Semakin kecil harga LC50 semakin toksik suatu senyawa (Meyer
dkk. 1982)
II.8
Uji Aktivitas Antibakteri dengan KLT Bioautografi
Bioautografi
adalah suatu metode pendeteksian untuk menemukan suatu senyawa antimikroba yang
belum teridentifikasi dengan cara melokalisir aktivitas antimikroba tersebut
pada suatu kromatogram. Metode ini memenfaatkan pengerjaan kromatografi lapis
tipis (Akhyar, 2010 dalam, Fadlila, dkk, 2015).
II.9 Kromatografi
Kromatografi adalah teknik pemisahan
campuran berdasarkan perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam medium
tertentu. Pada kromatografi, komponen komponennya akan dipisahkan antara dua
buah fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam akan menahan komponen
campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan zat komponen campuran. Komponen
yang mudah tertahan pada fase diam akan tertinggal. Sedangkan komponen yang
mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat.
Beberapa teknik kromatografi yang digunakan
antara lain (Atun, 2014) :
1. Kromatografi
lapis tipis (KLT)
Kromatografi
lapis tipis (KLT) adalah suatu teknik pemisahan komponen-komponen campuran
suatu senyawa yang melibatkan partisi suatu senyawa di antara padatan penyerap
(adsorbent, fasa diam) yang dilapiskan pada pelat kaca atau aluminium dengan
suatu pelarut (fasa gerak) yang mengalir melewati adsorbent (padatan penyerap).
Pengaliran pelarut dikenal sebagai proses pengembangan oleh pelarut (elusi).
KLT mempunyai peranan penting dalam pemisahan senyawa organik maupun senyawa
anorganik, karena relatif sederhana dan kecepatan analisisnya. Di dalam
analisis dengan KLT, sampel dalam jumlah yang sangat kecil ditotolkan
menggunakan pipa kapiler di atas permukaan pelat tipis fasa diam (adsorbent),
kemudian pelat diletakkan dengan tegak dalam bejana pengembang yang berisi
sedikit pelarut pengembang. Oleh aksi kapiler, pelarut mengembang naik
sepanjang permukaan lapisan pelat dan membawa komponen-komponen yang terdapat
dalam sampel.
Pemilihan
fasa gerak yang tepat merupakan langkah yang sangat penting untuk keberhasilan
analisis dengan KLT. Umumnya fasa gerak dalam KLT ditemukan dengan coba-coba
dan jarang sekali yang didasarkan pada pengetahuan yang mendalam. Sifat-sifat
pelarut pengembang juga merupakan factor
dominan dalam penentuan mobilitas komponenkomponen campuran. Umumnya
kemampuan suatu pelarut pengembang untuk menggerakkan senyawa pada suatu
adsorben berhubungan dengan polaritas pelarut.
Kemampuan
ini disebut kekuatan elusi, dan urutan kekuatan elusi beberapa pelarut yaitu
air, methanol, etanol, aseton, etil
asetat, kloroform, dietil eter, metilen diklorida, benzene, toluene, karbon
tetraklorida, heksan, petroleum eter. Identifikasi senyawa yang telah terpisah
pada lapisan tipis dapat dilakukan dengan menggunakan reaksi penampak noda
maupun dideteksi menggunakan lampu UV (254 atau 356 nm) untuk senyawa-senyawa
yang dapat menyerap warna (Atun,2014).
2. Kromatografi
vakum Cair (KVC)
Kromatografi vakum
Cair (KVC) digunakan untuk fraksinasi
ekstrak total secara cepat. Teknik ini dapat dilakukan dengan menggunakan kolom
kromatografi yang dihubungkan dengan pompa vakum, dengan isian kolom silica gel
untuk TLC (10-40 µm). sebagai eluen
digunakan campuran pelarut dari yang non polar secara bertahap ke yang polar.
Hasil pemisahan dari kromatografi vakum cair adalah fraksi-fraksi yang dapat
dikelompokkan menjadi kelompok senyawa non polar, semi polar, dan polar.
Kromatografi vakum cair merupakan modifikasi
dari kromatografi kolom gravitasi . Metode ini lebih banyak digunakan untuk
fraksinasi sampel dalam jumlah besar (10-50 g). Kolom yang digunakan biasanya
terbuat dari gelas dengan lapisan berpori pada bagian bawah. Ukuran kolom
bervariasi tergantung ukurannya. Kolom disambungkan dengan penampung eluen yang
dihubungkan dengan pompa vakum. Pompa vakum akan menghisap eluen dalam kolom,
sehingga proses pemisahan berlangsung lebih cepat. Penggunaan tekanan
dimaksudkan agar laju aliran eluen meningkat sehingga meminimalkan terjadinya
proses difusi karena ukuran silika gel yang biasanya digunakan pada lapisan KLT
sebagai fasa diam dalam kolom yang halus yaitu 200-400 mesh. Kolom yang
digunakan berukuran lebih pendek daripada kolom kromatografi gravitasi dengan
diameter yang lebih besar (5 -10 cm). Kolom KVC dikemas kering dalam keadaan
vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Sampel yang akan dipisahkan
biasanya sudah diadsorbsikan ke dalam silika kasar terlebih dahulu (ukuran
silica kasar 30-70 mesh) agar pemisahannya lebih teratur dan menghindari sampel
kangsung menerobos ke dinding kaca tanpa melewati adsorben terlebih dahulu,
yang dapat berakibat gagalnya proses pemisahan. Pelarut yang kepolarannya
rendah dituangkan ke permukaan penyerap yang sebelumnya sudah dimasukkan
sampel. Kolom dihisap perlahan-lahan ke dalam kemasan dengan memvakumkannya.
Kolom dielusi dengan campuran pelarut yang cocok, mulai dengan pelarut yang
kepolarannya rendah lalu kepolaran ditingkatkan perlahan-lahan. Kolom dihisap
sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi, sehingga kromatografi vakum cair
di sebut juga kolom fraksinasi
(Atun,2014).
3. Kromatografi
gravitasi
Kromatografi gravitasi dapat
digunakan untuk pemisahan dan pemurnian senyawa yang telah difraksinasi
menggunakan kromatografi vakum cair. Teknik ini dapat dilakukan dengan kolom
diameter ukuran 1-3 cm dan panjang kolom 50 cm. Sebagai adsorben digunakan
silika gel GF 60 (200-400 mesh). Tinggi adsorben yang biasa digunakan berkisar
15-20 cm. Eluen yang digunakan menggunakan campuran pelarut polar dan non polar
dengan perbandingan yang sesuai. Pemisahan dengan kromatogarfi kolom gravitasi
biasanya akan diperoleh hasil yang baik apabila digunakan campuran pelarut yang
dapat memisahkan komponen pada Rf kurang dari 0,3 pada uji coba dengan KLT
(Atun, 2014).
4. Kromatotron
Kromatotron atau sentrifugal
kromatografi merupakan kromatografi menggunakan alat yang disebut kromatotron,
teknik pemisahannya menggunakan gaya sentrifugal dan gravitasi. Dalam teknik
ini digunakan silika gel for TLC yang berflourecent. Prinsip pemisahan dengan
kromatotron sama dengan kromatografi yang lainnya, tetapi pemisahan akan
berlangsung lebih cepat, oleh karena ada gaya sentrifugal yang akan mempercepat
proses penyerapan pelarut yang membawa komponen yang dipisahkan (Atun, 2014).
II.10 Uraian
Bahan
1.
Etanol (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Etanol
RM/BM : C2H5OH/46,06
Pemerian :
Cairan
tidak berwarna, jernih, mudah menguap, dan mudah bergerak, bau khas, rasa
panas, mudah terbakar
Kelarutan : Sangat
mudah larut dalam air, dalam kloform P, dan didalam eter P.
Kegunaan :
Sebagai pelarut ekstraksi
Penyimpanan :
Dalam wadah tertutup baik
2.
Aquadest (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AQUA
DESTILLATA
Nama Lain : Air
Suling
RM/BM : H2O/18,02
Pemerian :
Cairan
jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa.
Kegunaan :
Sebagai pensuspensi pada partisi
Penyimpanan :
Dalam wadah tertutup baik
3.
N-heksan (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : HEXAMINUMUM
Nama Lain : Heksamina
RM/BM : C6H12N2/140,19
Pemerian :
Cairan
jernih, tidak berwarna, mudah menguap, berbau seperti eter, berbau lemah
seperti petroleum
Kelarutan : Praktis
tidak larut dalam air, larut dalam etanol mutlak, dapat campur dengan eter,
dengan kloroform, dengan benzen dan dengan sebagian besar minyak lemak dan
minyak atsiri.
Kegunaan :
Sebagai pelarut partisi dan eluen KLT
Penyimpanan :
Dalam wadah tertutup baik
4. Etil
asetat (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AETHYLIUM ACETICUM
Nama Lain : Etil
asetat
RM/BM : CH3COOC2H5/88,11
Pemerian :
cairan
tidak berwarna, bau khas.
Kelarutan :
larut dalam 15 bagian air,dapat bercampur dengan etanol 95 % P dan dengan eter
P.
Kegunaan :
Sebagai pelarut partisi dan eluen KLT
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
5.
Asam Klorida (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : ACIDUM HYDROCHLORIDUM
Nama Lain : Asam
klorida
RM/BM : HCl
/ 36,46
Pemerian :
cairan tidak berwarna, berasap, bau merangsang jika diencerkan dengan 2 bagian
air.
Kegunaan : sebagai
pereaksi pada uji pendahuluan flavonoid
Penyimpanan :
Dalam wadah tertutup baik
6.
NaCl (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : NATRII CHLORIDUM
Nama Lain : Natrium
klorida
RM/BM : NaCl
/ 58,44
Pemerian :
Hablur
heksahedral, tidak berwarna atau serbuk hablur putih tidak berbau rasa asin
Kelarutan :
larut dalam 2,8 bagian air, dalam 2,7 bagian air mendidih dan dalam kurang
lebih dari 10 bagian gliserol P; sukar larut dalam etanol (95%) P.
Kegunaan :
Sebagai pereaksi pada uji pendahuluan tanin
Penyimpanan :
Dalam wadah tertutup baik
7.
FeCl3 (Dirjen
POM, 1979)
Nama Resmi : FERRI CHLORIDA
Nama Lain :Besi (III) Klorida
RM/BM : FeCl3/162,2
Pemerian :Hablur
atau serbuk hablur berwarna hitam kehijauan, oleh pengaruh lembab udara berubah
menjadi jingga.
Kelarutan :
larut dalam air, larutan berfloresensi berwarna jingga.
Kegunaan : Sebagai
pereaksi pada uji pendahuluan tanin
Penyimpanan :
Dalam wadah tertutup baik
8.
Eter (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AETHER
Nama Lain :Eter
RM/BM : C4H10O/74,12
Pemerian :
Cairan mudah menguap, tidak berwarna
Kelarutan :
larut dalam air, dapat bercampur dengan etanol, dengan benzen, kloroform,
minyak lemak, dan minyak menguap.
Kegunaan : Sebagai
pereaksi pada uji pendahuluan steroid
Penyimpanan :
Dalam wadah tertutup baik
9. Metanol (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : METHANOLUM
Nama lain : Metanol
RM : CH3OH
Pemerian : cairan tidak berwarna, jernih, bau khas
Kelarutan : dapat bercampur dengan air, membentuk cairan jernih tidak
berwarna
Kegunaan : sebagai pereaksi uji
pendahuluan flavanoid
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik
BAB III
METODE KERJA
III.1.
Alat dan Bahan
III. 1.1. Alat
Alat yang digunakan
pada praktikum ini adalah timbangan
analitik, blender, spatula, rotary evaporator, vial, tabung reaksi, batang
pengaduk, toples.
III. 1.2. Bahan
Bahan yang
digunakan pada praktikum ini yaitu daun benalu mangga, etanol, n-heksan, etil asetat, aluminium
foil, kertas label, Serbuk magnesium, HCl pekat,
DPPH, KLTP.
III.3 Prosedur kerja
III.3.1
Pengambilan Sampel
Sampel
daun benalu mangga diambil dari daerah Daya Makassar, diambil pada pukul 10.00
WITA.
III.3.2 Penyiapan Sampel
1.
Panen
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Daun Benalu
(Dendropththoe petandra L. Miq) yang
diambil dari pohon mangga yang terdapat di daerah Daya (Jalan Poros Depag)
Makassar. Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 09.00 (pagi)
sampai pukul 11.00 (siang).
2.
Sortasi Basah
Bahan baku dipisahkan dari bahan-bahan pengganggu seperti
tanah, kerikil, rumput, bagian tanaman yang tidak dibutuhkan (tangkai, biji dan
bunga), bagian tanaman yang lain (tangkai, daun, bunga dan biji inang), bahan
yang usak dan lain-lain.
3.
Pencucian
Pencucian daun benalu dilakukan dengan menggunakan air
mengalir yang berasal dari air sumur.Pencucian ini dilakukan sebanyak tiga
kali.
4.
Pengeringan
Daun Benalu yang masih basah dikeringkan pada sinar matahari
secara tidak langsung.Cara pengeringan adalah bahan dihamparkan di atas nampan
bambu dengan di atur agar tidak menumpuk dan diusahakan agar (daun) tidak
menggulung, kemudian ditutup kain hitam dan dilakukan penjemuran di bawah sinar
matahari pada pukul 09.00 (pagi) sampai pukul 15.00 (sore).Posisi daun harus
sering dibalik sehingga pemanasan dapat merata. Akhir pengeringan ditandai
dengan simplisia akan mudah hancur jika simplisia diremas dengan tangan.
5.
Sortasi Kering
Sejumlah simplisia yang telah kering dipisahkan dari
bahan-bahan pengganggu seperti bagian tumbuhan yang tidak diperlukan atau daun
yang rusak dan lain-lain.
6.
Perajangan atau Pembuatan Serbuk
Daun benalu diserbuk dengan cara diremas-remas.
7.
Pengepakan dan Penyiapan
Sejumlah simplisia yang telah halus kemudian dibungkus dengan
menggunakan kantong plastic kedap udara dengan cara dibungkus rapat. Penyiapan
dilakukan disuhu ruangan terhindar dari cahaya matahari.
III.3.3. Ekstraksi Dengan Meserasi
Simplisia
sebanyak 1 kg
diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi dengan menggunakan pelarut
etanol 70% sebanyak 7,5 L. Simplisia dimasukkan ke dalam wadah maserasi
kemudian ditambahkan pelarut secukupnya untuk proses pembasahan, lalu didiamkan
kurang lebih 15-30 menit. Sisa pelarut ditambahkan hingga semua simplisia
terendam sempurna kemudian didiamkan ditempat yang terlindung dari cahaya
matahari selama 3 hari dan diaduk setiap 12 jam lalu disaring. Residu
dimaserasi kembali (remaserasi) dengan menggunakan etanol sebanyak 7,5 L
kemudian didiamkan ditempat yang terlindung dari cahaya matahari dan diaduk
setiap 12 jam sekali lalu disaring, filtrat dikumpulkan hingga diperoleh ektrak
kental.
III.3.4 Partisi/Fraksinasi
Hasil
ekstrak kental yang diperoleh saat ekstraksi, kemudian dilakukan pengujian
kelarutan ekstrak. Ekstrak yang diperoleh larut dalam pelarut n-heksan dan etil asetat. 3
gram ekstrak kemudian disuspensikan dengan air 50 ml kemudian dimasukkan
kedalam corong pisah lalu ditambahkan n-heksan 300 ml dikocok dan didiamkan
selama 15-20 menit sampai terbentuk 2 lapisan, didekantasi kemudian larutan
n-heksan diuapkan. Prosedur yang sama berlaku untuk fraksi etil asetat 300 ml.
III.3.5 Uji Aktivitas
Antioksidan dengan metode DPPH
III.3.5.1 Absorbansi DPPH awal
Larutan DPPH dalam
etanol dengan konsentrasi 50 ppm diambil sebanyak 4 ml kemudian diinkubasi pada
suhu ruang selama 30 menit. Setelah itu diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 514 nm (Kurniasih, 2015).
III.3.5.2
Absorbansi Sampel
Fraksi n-heksan, fraksi etil asetat, dan
fraksi air dibuat dengan konsentrasi 10,
30, 50, 70, dan 90 ppm dilarutkan dengan etanol kedalam labu ukur 10 ml,
kemudian tiap-tiap konsentrasi diambil 2 ml dan ditambahkan 2 ml larutan DPPH
50 ppm. Setelah itu diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit, kemudian
dimasukkan dalam kuvet untuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 514
nm. Tiap sampel dilakukan pengulangan dua kali. Sebagai standar digunakan
Vitamin C dengan perlakuan yang sama dengan sampel. Data absorbansi yang
diperoleh dari tiap konsentrasi dihitungan nilai aktifitas antioksidannya
dengan rumus :
Keterangan
:
Ab :
absorbansi DPPH awal
As
: absorbansi DPPH sampel
III.3.6 Uji Toksisitas
Dengan Metode BSLT
III.3.6.1 Penyiapan Larva
Telur Artemia salina Leach direndam dalam
wadah yang berisi air laut,
didiamkan selama 24 jam sambil terus diamati, telur udang tersebut akan menetas dan menjadi larva. Larva yang telah berumur 48
jam, digunakan sebagai hewan uji aktivitas ketoksikan.
III.3.6.1 Penyiapan Larutan Stok Ekstrak
Dibuat
larutan uji dengan konsentrasi 2000 ppm, selanjutnya dibuat lagi larutan dengan
konsentrasi 100 ppm, 200 ppm, 400 ppm, 800 ppm, dan 1600 ppm dengan cara
pengenceran. Untuk kontrol digunakan air laut sebanyak 10 ml tanpa penambahan
ekstrak.
III.3.6.1 Uji Toksisitas
Larutan uji dengan konsentrasi
100 ppm, 200 ppm, 400 ppm, 800 ppm, dan 1600 ppm di pipet masing-masing 0,5 ml
dimasukkan ke dalam vial dan di tambahkan 1 ml ragi dan 10 ekor larva udang.
Setiap konsentrasi dilakukan dua kali pengulangan dan di bandingkan dengan control.
Diamati berapa larva yang mati setelah 24 jam dan di hitung persen
motalitasnya.
III.3.7 Proses Pemisahan
III.3.7.1 Kromatografi Lapis Tipis
Pemisahan
dilakukan dengan kromatografi lapis tipis dari ekstrak etanol, dilakukan untuk
menentukan eluen yang digunakan pada fraksinasi kolom. Pengamatan penampakan
noda dilihat dibawah lampu UV 254 dan 365 nm, hasil elusi terbaik dipilih untuk
proses fraksinasi selanjutnya.
III.3.7.2 Kromatografi Kolom
Seperangkat alat kromatografi kolom
disiapkan, kemudian dimasukkan bubur silika gel kedalam tabung kolom sebanyak
50 gram bubur silika gel sedikit demi sedikit, sambil diketuk-ketuk tabung
kolom hingga memadat dan ke dalam tabung ditambahkan etanol sedikit mungkin.
Ekstrak etanol sebanyak 3
gram dimasukkan ke dalam kolom kemudian dimasukkan sedikit silika gel kering
diatasnya. Ekstrak dielusi menggunakan eluen etanol: n-heksan (8:3), (7:3),
(6:3), (5:3), (4:3), (2:3), (3:4), (3:5), (3:6), (3:7), (3:8) dalam 30 ml .
Hasil yang keluar ditampung dalam vial tiap 30 ml dan diperoleh 12 vial. Hasil
pemisahan dikelompokkan berdasarkan kesamaan profil KLT dan diuapkan hingga
diperoleh 3 fraksi dan dipilih fraksi 2 untuk dilanjutkan kromatografi lapis
tipis preparatif.
III.3.7.3 Kromatografi lapis tipis
preparatif
Fraksi
yang dipilih dilanjutkan pada kromatografi lapis tipis preparatif (KLTP) dengan
menggunakan eleun etil-asetat : etanol (8:3). Didapatkan 4 pita, Selanjutnya
pita yang dihasilkan dikerok kemudian dilarutkan dengan 10 ml pelarut etanol
P.a dan disaring dengan menggunakan pipet yang disumbat dengan kapas, filtrate
yang diperoleh diuapkan.
III.3.7.4 Kromatografi Lapis Tipis Dua Dimensi
Ditotolkan ekstrak pada salah satu sisi lempeng dengan ukuran
10x10cm yang lempengnya telah diaktifkan. Dimasukkan kedalam chamber yang telah
dijenuhkan dengan eluen etanol:n-heksan (0,5:2), sampai lempeng terelusi
sempurna diangkat dan dikeringkan. Diputar lempeng 90o dan
dimasukkan ke dalam chamber lain berisi eluen etanol:n heksan (0,5:2),
dibiarkan lempeng terelusi sempurna, diangkat dan dikeringkan.
III.3.7.5 Kromatografi Lapis tipis Multi Eluen
Hasil kerukan KLTP, direndam dengan etanol dan n-heksan PA selama
5 menit, kemudian disaring dengan menggunakan pipet tetes yang didalmnya
terdapat kapas untuk menyaring silika yang masih terdapat pada ekstrak. Hasil
saring, dilarutkan kembali dengan etanol PA. Disiapkan 2 lempeng yang telah
diaktifkan kemudian ekstrak ditotolkan, dengan eluen nonpolar etanol:n-heksan
(0,5:2) dengan perbandingan eluen polar metanol:kloroform (1:1)
DAFTAR PUSTAKA
Akhyar, 2010. Uji
Daya Hambat Dan Analisis Klt Bioautografi Ekstrak Akar Dan Buah Bakau (Rizhopora stylosa Griff.) Terhadap vibrio Harvey. Skripsi.
Fakultas farmasi universitas hasanuddin akassar.
Andayani, R., Lisawati, Y., dan Maimunah. 2008. Penentuan Aktivitas Antioksidan Kadar
Fenolat Total Dan Likopen pada Buah Tomat (Solanum lycopersicum L). Jurnal
Sains dan Teknologi Farmasi. Vol.13.
No.1, fakultas farmasi universitas andalas. Padang.
Ariyanto, r., 2006. Uji Aktivitas Antioksidan, Penentuan Kandungan Fenolikdan Flavonoid
Total Fraksi Kloroform dan Fraksi Air Ekstrak Metanolik Pegagan (Centella
asiatica L. Urban), skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.
Artanti,
N., Ma’arifa, Y., and Hanafi, M., 2006, Isolation
and Identification of Active Antioxidant Compound From Star Fruit (Averrhoa
carammbola) Mistletoe (Dendrophthoe petandra (L.) Miq. ) Ethanol Extract,
Journal of Applied Sciences, 6 (8): 1659-1663.
Atun,
S.2014. Metode Isolasi Dan Identifikasi
Struktur Senyawa Organic Bahan Alam. Jurnal Konservasi Cagar Budaya
Borobudur vol 8 no 2, Desember 2014, hal 55-58.
Depkes
RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III.
Dirjen POM. Jakarta: Hal XXX.
Dita, mutiah. 2010. Uji Toksisitas Akut
Ekstrak Etanol Buah Anggur (Vitis vinifera)
Terhadap Larva Artemia salina Leach Dengan Metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT). Universitas
Diponegoro : Semarang.
Fadlila,
W.N. dkk. 2015. Identifikasi Senyawa
Aktif Antibakteri Dengan Metode Bioatugrafi KLT Terhadap Ekstrak Etanol Tangkai
Daun Talas. UNISBA.
Gunawan,
D.,Mulyani, S. 2004. Ilmu Obat Alam
(Farmakognosi) Jilid 1. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal
9-15.
Harborne. J.B.
1987. Metode Fitokimia. Institut
Tekhnologi Bandung. Bandung
Indrawati,
1999. Pengkajian Kemampuan Hambatan
Pertumbuhan Sel Kanker Mieloma Secara In Vitro Antara Maserasi Benalu Duku dan
Maserasi Benalu Teh Dibandingkan Metotreksat.Universitas Airlangga.Surabaya
Kurniasih, N, dkk. 2015. Potensi Daun Sirsak (Annona muricata Linn),
Daun Binahong (Andredera cordifolia (Ten) Steenis), dan Daun Benalu Mangga
(Dendropthoe pentandra) sebagai Antioksidan Pencegah Kanker. Jurusan
Farmasi Politeknik Kesehatan. Bandung.
Manitto,
P, 1992, Biosintesis Produk Alami, IKIP Semarang Press, Semarang:Hal
2-3.
Meyer, B.N., Laughlin, Ferrigini. 1982, Brine Shrimp: A Convenient General Bioassay for Active Plant
Constituents, Planta Medica 45: 32-33.
Molyneux,
P. 2004. The use of stable free radical
diphenylpicryl hydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. J.
Sci.Technol.: 211-219
Naik, G.H., Priadarsini, K.I., Satau, S.G.,
Banavalikar, M.M., Sohoni, D.P., Biyari, M.K., and Mohan H. 2003. Comparative antioxidant activity of
individual herbal components used in ayurvedic medicine phytochemistry. 63
(1) : 97-104
Sarker,
S,D.,Nahar, L, 2007. Kimia Untuk Mahasiwa
Farmasi Bahan Kimia Organik, Alam dan Umum. Pustaka Pelajar. Yogyakarta: Hal 405, 409.
Sirait,
M, 2007, Penuntun Kimia Dalam Farmasi.
ITB.Bandung. Hal 2-5
Wall,
Peter E. (2005). Thin-Layer
Chromatography, A Modern Practical Approach. UK: RS.C
Widyaningrum,
H, 2011. Kitab Tanaman Obat Nusantara.
MedPress. Yogyakarta